Translate

Monday, May 21, 2018


PERSENTUHAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN YANG MEMBATALKAN WUDHUK
STUDI KAJIAN FIQH HANAFIAYH DAN SYAFI’IYAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

1.      Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama rahmatan lil ‘âlamin  yaitu agama yang membawa kesejahteraan bagi segenap isi alam ini. Hal ini sesuai dengan firman Allah didalam al Qur’an surat al Anbiya;107
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9
Artinya ; “Dan tidak kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam”.
Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi dengan anugerah tersebut kadangkala manusia lupa akan dzat Allah SWT yang telah memberikannya. Untuk hal tersebut manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah SWT. Hidup yang dibimbing syariah akan melahirkan kesadaran untuk berprilaku yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasulnya yang tergambar dalam hukum Allah yang normatif dan deskriptif.
Sebagian dari syariat terdapat aturan tentang ibadah, baik ibadah khusus maupun ibadah umum. Sumber syariat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan hal-hal yang belum diatur secara pasti di dalam kedua sumber tersebut digunakan ra’yu (Ijtihad).  Didalam Alqur’an Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan (khitab) bagi manusia untuk menjalankan syariat agama Nya, baik berupa khitab taklifi maupun khitab wadh’i, hal ini sebagaimana di jelaskan oleh syekh Ibn Hajar dalam kitabnya yaitu;
(والحكم خطاب الله) تعالى أي كلامه النفسي الأزلي المسمى في الأزل خطابا على الأصح كما سيأتي. (المتعلق) إما (بفعل المكلف) أي البالغ العاقل الذي لم يمتنع تكليفه تعلقا معنويا قبل وجوده أو بعد وجوده قبل البعثة، وتنجيزيا بعد وجوده بعد البعثة، إذ لا حكم قبلها كما سيأتي ذلك. (اقتضاء) أي طلبا للفعل وجوبا أو ندبا أو حرمة أو كراهة أو خلاف الأولى. (أو تخييرا) بين الفعل وتركه أي إباحة فيشمل ذلك الفعل القلبي الاعتقادي وغيره. والقولي وغيره والكف والمكلف الواحد كالنبي صلى الله عليه وسلّم في خصائصه، والأكثر من الواحد، (و) إما (بأعم) من فعل المكلف (وضعا وهو) الخطاب (الوارد) بكون الشيء (سببا وشرطا ومانعا وصحيحا وفاسدا)[1]
            "Hukum adalah khitab Allah ta'ala yaitu kalam Allah yang nafsi azali[2] yang dinamakan dengan khitab, yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (yang baligh lagi berakal) baik sebelum wujudnya mukallaf , berupa tuntutan untuk berbuat suatu perbuatan berupa wajib, sunat, haram, dan makhruh maupun berupa pilihan. Dan adakalanya berkaitan dengan yang lebih umum dari pada perbuatan mukallaf yang dinamakan dengan khitab wadh’i, yaitu khitab Allah yang menjadikan sesuatu itu menjadi sebab, syarat, mani’, shahih dan fasid.
Wudhu’ meurupakan salah satu dari khitab wadh’i, karena Allah Swt telah menjadikan wudhu’ sebagai salah satu syarat bagi sahnya ibadat mahdhah yaitu ibadat yang memerlukan kepada sucinya orang yang melakukannya, baik suci dari hadats besar maupun dari hadats kecil. Suci dari hadats besar dilakukan dengan mandi junub. Adapun Suci dari hadats kecil bisa ditempuh dengan wudhu atau dalam kondisi yang  dibenarkan syara’ dapat dengan tayamum.
Salah satu perbuatan yang mengakibatkan batalnya wudhu yaitu; bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Menurut  Imam an-Nawawi memberikan batasan  dalam hal mahram adalah sebagai berikut,
كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها

Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)

Kemudian beliau memberikan keterangan untuk definisi yang beliau sampaikan:
  1. Haram untuk dinikahi selamanya : Artinya ada wanita yang haram dinikahi, namun tidak selamanya. Seperti adik istri atau bibi istri. Mereka tidak boleh dinikahi, tetapi tidak selamanya. Karena jika istri meninggal atau dicerai, suami boleh menikahi adiknya atau bibinya.
  2. Disebabkan sesuatu yang mubah : Artinya ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang tidak mubah. Seperti ibu wanita yang pernah disetubuhi karena dikira istrinya, atau karena pernikahan syubhat. Ibu wanita ini haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan mahram. Karena menyetubuhi wanita yang bukan istrinya, karena ketidaktahuan bukanlah perbuatan yang mubah.
  3. Karena statusnya yang haram : Karena ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan karena statusnya yang haram tetapi sebagai hukuman. Misalnya, wanita yang melakukan mula’anah dengan suaminya. Setelah saling melaknat diri sendiri karena masalah tuduhan selingkuh, selanjutnya pasangan suami-istri ini dipisahkan selamanya. Meskipun keduanya tidak boleh nikah lagi, namun lelaki mantan suaminya bukanlah mahram bagi si wanita.
Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Nawawi didalam kitabnya Minhaju Ath Thalibin, didalam bab Asbabul hadtsi yaitu,
الثالث التقاء بشرتي الرجل و المرأة إلا محرما في الاظهر , والملموس كلامس في الاظهر[3]
“Yang ketiga adalah bertemu kulit laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Orang yang disentuh sama hukumnya dengan orang yang menyentuh menurut pendapat yang kuat”.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, menurutnya persentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahramdapat membatalkan wudhu. Pendapat ini beliau ungkapkan di dalam kitabnya sebagai berikut;
  ورابعها تلاقي بشرتى دكر وانثى ولو بلا شهوة و ان كان احد هما مكر ها او ميتا لكن لاينقض وصوء الميت. والمراد ت بالبشرة هنا غير الشعر والسن والظفر[4]
            "Dan yang keempat dari yang membatalkan wudhuk adalah persentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan walau dengan tidak ada syahwat, dalam keadaan dipaksakan, atau mait. Tetapi tidak batal wudhuknya mait. Maksud dari  kalimat "basyarah" disini adalah selain dari bulu, gigi dan kuku”.
            Dalam hal batalnya wuduk akibat dari bersentuhan antara laki-laki dan perempuan mungkin agak susah diaplikasikan pada ketika orang melakukan thawaf, dimana pada ketika itu sulit untuk menghindari supaya seorang laki-laki atau perempuan tidak bersentuhan dengan lawan jenisnya.  Ada satu cara yang bisa ditempuh yaitu seseorang bisaAda satu cara yang bisa ditempuh yaitu dengan bertaqlid kepada mazhab Imam Abu Hanifah; didalam mazhab Abu Hanafi menyatakan bahwa bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhuk apabila dilakukan dengan tidak menimbulkan syahwat. Disini perlu diperjelas bagaimana ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh Imam Abu Hanifah, apa yang melatar belakangi sehingga timbulnya perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Al Syafi’i. Apakah ‘Illat yang di ungkapkan oleh masing-masing mazhab. Penjelasan sedemikian rupa diperlukan supaya masyarakat dapat mengamalkan dan tidak saling menyalahkan ketika mengamalkannya.
2.      Rumusan Masalah
Dari berbagai permasalahan di atas, supaya penulisan makalah ini tersusun secara sistematis, maka penulis akan merumuskan dalam beberaparumusan masalah.
A.    Apakah ‘Illat dari dalil batalnya wudhuk ketika bersentuhan antara laki-laki dan perempuan menurut  fiqh Syafi’iyah dan Hanafiyah.

3.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pembahasan makalah ini adalahsebagai berikut;
A.    Untuk mengetahui ‘Illat dari dalil batalnya wudhuk ketika bersentuhan antara laki-laki dan perempuan menurut  fiqh Syafi’iyah dan Hanafiyah.

4.      Metode Penelitian
Supaya sebuah penelitian bisa dipertanggung jawabkan maka dalam menyusun makalah ini penulis perlu menggunakan metode penelitian. Pembahasan makalah ini menggunakan metode penilitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan pendekatan pustaka, disini penulis menggunakan berbagai data data baik primer maupun sekunder yang berasal dari buku-buku dan kitab kitab yang ada di perpustakaan MPU Aceh.


BAB DUA
EKSISTENSI WUDHUK DALAM IBADAH

1.      Pengertian wudhuk

Jalaluddin al mahalli didalam kitabnya memberikan pengertian wudhuk yaitu;
وهو لغة النظافة لأن أصله من الوضاءة وهي النضارة والحسن , وشرعا استعمال الماء في أعضاء مخصوصة مفتتحا بنية[1] 
            “Wudhuk secara bahasa adalah kebersihan, karena asal kalimatnya dari wadhaah yang mempunyai arti keindahan. Adapun pengertian wudhuk secara istilah adalah memakai air pada bbeberapa anggota yang terkhusus dan di mulai dengan niat”.
( قوله وشرعا رفع المنع إلخ ) اعلم أن الطهارة الشرعية لها وضعان وضع حقيقي وهو إطلاقها على الوصف المترتب على الفعل وهو زوال المنع المترتب على الحدث أو الخبث  وإن شئت قلت ارتفاع المنع المترتب على ذلك  ومجازي وهو إطلاقها على الفعل كتعريف الشارح فهو من إطلاق اسم المسبب على السبب [2]
“ Ketahuilah bahwa secara syar’I thaharah itu mempunyai dua dalalah makna, makna hakiki dan makna majazi. Makna hakiki yaitu pemakaian kata-kata thaharah kepada sifat suci pada seseorang yang terjadi dari suatu perbuatan; yaitu hilangnya mani’ yang terjadi karena hadats atau najis. Adapun makna majazinya adalah perbuatan untuk menghasilkan suci”.
            Mohd dahlan memberikan pengertian wudhuk yaitu membasuh sebagian anggota badan dengan air mutlaq, atau air yang suci mensucikan dengan disertai niat untuk menghilangkan hadats kecil[3]. Jadi inti dari wudhuk itu adalah perbuatan untuk menghasilkan suci pada diri seseorang.


2.      Fardhu wudhuk
Fardhu wudhuk  sebagaimana disebutkan didalam kitab al Iqna’ ada enam yaitu;
باب فرض الوضوء وسننه وهيآته وفرض الوضوء ست خصال النية عمند غسل الوجه وغسل الوجه وغسل الذراعين مع المرفقين ومسح ما قل من الرأس وغسل الرجلين مع الكعبين والترتيب [4]
Artinya: ” Ini suatu bab pada enyatakan fardhu wudhuk, sunat wudhuk, dan haiah wudhuk. Fardhu wudhuk ada enam perkara yaitu niat ketika membasuh muka, membasuh muka, membasuh dua tangan beserta dua siku, mengusap sebahagian kepala dan membasuh dua kaki beserta dua mata kaki”.

3.      Hal-hal yang membatalkan wudhuk
Untuk mengkaji hal-hal yang dapat membatalkan wudhuk maka penulis akan melihat beberapa pembahasan didalam beberapa sumber;
Didalam kitab Fathul Qorib disebutkan:
(و) الرابع (لمس الرجل المرأة الأجنبية) غير المحرم ولو ميتة، والمراد بالرجل والمرأة ذكر وأنثى بلغا حد الشهوة عرفاً، والمراد بالمحرم من حرم نكاحها لأجل نسب أو رضاع أو مصاهرة وقوله: (من غير حائل) يخرج ما لو كان هناك حائل فلا نقض حينئذ
Artinya: Yang membatalkan wudhu nomor 4 adalah laki-laki menyentuh perempuan lain bukan mahram dengan tanpa penghalang walaupun perempuan itu sudah mati. Yang dimaksud dengan pria dan wanita adalah laki-laki dan perempuan yang sudah baligh menurut kebiasaan. Yang dimaksud mahram adalah orang yang haram dinikah karena sebab kekerabatan, atau sesusuan atau mertua. Kata-kata "tanpa penghalang" berarti tidak batal wudhu kalau sentuhan tersebut memakai penghalang.
Disini dapat disimpulkan bahwa bersentuhan dengan Istri Membatalkan Wudhuk Persentuhan kulit laki-laki dewasa dengan wanita dewasa yang bukan mahram (termauk juga istri) tanpa penghalang dapat membatalkan wudhu.
* الْوُضُوءُ من الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ وَالرِّيحِ  * (1) ( قال الشَّافِعِيُّ ) فلما دَلَّتْ السُّنَّةُ على أَنَّ الرَّجُلَ يَنْصَرِفُ من الصَّلَاةِ بِالرِّيحِ كانت الرِّيحُ من سَبِيلِ الْغَائِطِ وكان الْغَائِطُ أَكْثَرَ منها
 أخبرنا إبْرَاهِيمُ بن مُحَمَّدٍ عن أبي الْحُوَيْرِثِ عن الْأَعْرَجِ عن بن الصِّمَّةِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم بَالَ فَتَيَمَّمَ
 أخبرنا مَالِكٌ عن أبي النَّضْرِ مولى عُمَرَ بن عبد اللَّهِ عن سُلَيْمَانَ بن يَسَارٍ عن الْمِقْدَادِ بن الْأَسْوَدِ أَنَّ عليا ( ( ( علي ) ) ) بن أبي طَالِبٍ رضي اللَّهُ تَعَالَى عنه أَمَرَهُ أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم عن الرَّجُلِ إذَا دَنَا من أَهْلِهِ يَخْرُجُ منه الْمَذْيُ مَاذَا عليه قال عَلِيٌّ فإن عِنْدِي ابْنَةَ رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم فَأَنَا أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَهُ قال الْمِقْدَادُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم عن ذلك فقال إذَا وَجَدَ أحدكم ذلك فَلْيَنْضَحْ فَرْجَهُ بِمَاءٍ وَلْيَتَوَضَّأْ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ + فَدَلَّتْ السُّنَّةُ على الْوُضُوءِ من الْمَذْيِ وَالْبَوْلِ مع دَلَالَتِهَا على الْوُضُوءِ من خُرُوجِ الرِّيحِ فلم يَجُزْ إلَّا أَنْ يَكُونَ جَمِيعُ ما خَرَجَ من ذَكَرٍ أو دُبُرٍ من رَجُلٍ أو أمرأة أو قُبُلِ الْمَرْأَةِ الذي هو سَبِيلُ الْحَدَثِ يُوجِبُ الْوُضُوءَ وَسَوَاءٌ ما دخل ذلك من سِبَارٍ أو حُقْنَةِ ذَكَرٍ أو دُبُرٍ فَخَرَجَ على وَجْهِهِ أو يَخْلِطُهُ شَيْءٌ غَيْرُهُ فَفِيهِ كُلِّهِ الْوُضُوءُ لِأَنَّهُ خَارِجٌ من سَبِيلِ الْحَدَثِ قال وَكَذَلِكَ الدُّودُ يَخْرُجُ منه وَالْحَصَاةُ وَكُلُّ ما خَرَجَ من وَاحِدٍ من الْفُرُوجِ فَفِيهِ الْوُضُوءُ وَكَذَلِكَ الرِّيحُ تَخْرُجُ من ذَكَرِ الرَّجُلِ أو قُبُلِ الْمَرْأَةِ فيها الْوُضُوءُ كما يَكُونُ الْوُضُوءُ في الْمَاءِ وَغَيْرِهِ يَخْرُجُ من الدُّبُرِ[5]


a.      Keluar Sesuatu Dari Dua Jalan

Kaum muslimin telah sepakat bahwa keluarnya kencing dan kotoran dari dua jalan (qubul dan dubur), serta angin dari tempat yang biasa, maka ia dapat membatalkan wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhu, hal ini menurut Syafi’I, Hambali dan Hanafi.Tetapi menurut Maliki, tidak sampai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh di dalam perut, tapi kalau tidak tumbuh di dalamnya, seperti orang yang sengaja menelan batu kecil, kalau batu tersebut keluar dari tempat biasa (anus), maka ia dapat membatalkan wudhu. Menurut Imamiyah : ia tidak dapat membatalkan wudhu, kecuali kalau keluar bercampur dengan kotoran[6].

b.      Madzi Dan Wadzi

            Menurut empat mazhab madzi dan wadzi dapat membatalkan wudhu, tetapi menurut Imamiyah tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya Maliki memberikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar madzi. Orang yang seperti ini tidak diwajibkan berwudhu lagi.

c.       Hilang Akal

            Hilang akal karena mabuk, gila, pingsan, atau naik pitam, maka menurut kesepakatan para ulama ia dapat membatalkan wudhu. Tapi kalau masalah tidur, Imamiyah berpendapat: kalau hati, pendengaran, dan penglihatan tidak berfungsi sewaktu ia tidur, sehingga ia tidak dapat mendengar pembicaraan orang-orang di sekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur tersebut dalam keadaan duduk, terlentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhu. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hambali.
            Hanafi berpendapat :”Kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan terlentang, atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadi batal. Tapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka wudhunya tidak batal. Barang siapa yang tidur pada saat sholat dan keadaannya tetap pada posisi seperti shalat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama”.
            Imam Syafi’i mengatakan :”Kalau anusnya tetap pada tempat duduknya, seperti mulut botol yang tertutup, maka tidur yang demikian itu tidak sampai membatalkan wudhu, walaupun tidur sampai lama”[7].
            Imam Malik mengatakan :”Membedakan antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan, tidak membatalkan wudhu, begitu juga kalau tidur berat dan waktunya hanya sebentar, serta anusnya tertutup. Tapi kalau ia tidur berat, dan waktunya panjang, ia dapat membatalkan wudhu, baik anusnya tertutup maupun terbuka”.

d.      Bersentuhan laki-laki dan perempuan

            Imam Syafi’I mengatakan kalau orang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa adanya aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalau bukan wanita lain seperti saudara wanita maka wudhunya tidak batal.
            Menurut Imam Hanafi : wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, dimana sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
            Menurut Imamiyah : menyentuh itu tidak dapat membatalkan wudhu secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula orang yang berwudhu itu menyentuh kemaluannya, baik anus maupun qubulnya tanpa adanya aling-aling, maka menurut Imamiyah dan Hanafi ia tidak membatalkan wudhu.
            Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa menyentuh itu dapat membatalkna wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
            Imam Malik mengatakan : ada hadits yang diriwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak tangan (bagian depan) maka membatalkan wudhu, tetapi jika menyentuh dengan belakangnya tidak membatalkan wudhu.
            Hadits Nabi :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَ ضَّأ
          Artinya :”Barang siapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu”.[8]
Dalam kitab al-Iqna pada Hamisyi albujairimi juz I, halaman 171 sebagai berikut:
..والرابع من نواقض الوضوء لمــــس الرجل ببشرته المرأة الأجنبية أى بشرتها من غير حائل.
“Dan hal keempat membatalkan wudhu adalah bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa lain (yang bukan muhrim) tanpa ada penghalang. 
Begitu juga yang dijelaskan dalam hadits dari Muadz bin Djabal.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاه رجل فقال: يارسول الله ما تقول فى رجل لقي امرأة لايعرفها وليس يأتى الرجل من امرأته شيئا إلاأتاه منها غير أنه لم يجامعها قال فأنزل الله عز وجل هذه الأية أقم الصلاة  طرفي النهار وزلفا من الليل, قال فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : توضاء ثم صل..! قال معاذ فقلت يارسول الله أله خاصة أم للمؤمنين عامة؟ فقال:بل للمؤمنين عامة (رواه أحمد والدارقطنى
Rasulullah saw. kedatangan seorang lelaki lalu berkata: ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang lelaki bertemu dengan perempuan yang tak dikenalnya. Dan mereka bertemu tidak seperti layaknya suimi-istri, tidak juga bersetubuh. Namun, hanya itu saja (bersetubuh) yang tidak dilakukannya. Kata Rawi Maka turunlah ayat       أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل . Rawi bercerita: Maka rasulullah saw bersabda: berwudhulah kamu kemudian sembahyanglah. Muadz berkata ”wahai Rasulullah apakah perintah ini hanya untuk orang ini, atau umum untuk semua orang mu’min? Rasulullah saw menjawab “untuk semua orang mu’min’ (HR. Ahmad Addaruquthni) 
Ada juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya:
قبلة الرجل امرأته وجسه بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أوجسها بيده فعليه الوضوء (رواه مالك فى الموطأ والشافعى) 
“Sentuhan tangan seorang laki-laki terhadap istrinya dan kecupannya termasuk pada bersentuhan (mulamasah). Maka barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan, wajiblah atasnya berwudhu” (HR. Malik dalam Muwattha’ dan as-Syafi’i)
Hadits ini jelas menerangkan bahwa bersentuhan dengan istri itu membatalkan wudhu seperti halnya batalnya wudhu karena mencium istri sendiri. Seperti yang ditekankan dalam salah satu riwayat Ibnu Haitam, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata  :  اللمس ما دون الجماع
“Yang dimaksud dengan sentuh (allamsu) adalah selain jima’ “.
Ini berarti bersentuhan dengan istri tanpa penghalang baik sengaja atapun tidak membatalkan wudhu. Lebih jelas lagi riwayat atThabrani:
يتوضأ الرجل من المباشرة ومن اللمس بيده ومن القبلة
“Berwudhulah lelaki karena berlekatan, bersentuhan dengan tangan dan karena ciuman”.

e.       Muntah

            Muntah menurut Imam Hambali ia dapat membatalkan wudhu secara mutlak, sedangkan menurut Imam Hanafi muntah dapat membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, Imamiyah dan Imam Malik muntah tidak membatalkan wudhuk.


 BAB TIGA
DALIL YANG MENYEBABKAN RUNTUHNYA WUDHUK MENURUT FIQH SYAFI’IYAH DAN HANBALIYAH

1.      Menurut Fiqh Syafi’iyah

Dalil yang dipakai untuk menytakan batalnya wudhuk akibat dari bersentuhan antara laki-laki dan perempuan adalah surat An nisa’:43, yaitu;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”.

Didalam kitab al Um Imam syafi’I menyatakan:
الْوُضُوءُ من الْمُلَامَسَةِ وَالْغَائِطِ  * ( قال الشَّافِعِيُّ ) فذكر اللَّهُ عز وجل الْوُضُوءَ على من قام إلَى الصَّلَاةِ وَأَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ من قام من مَضْجَعِ النَّوْمِ وَذَكَرَ طَهَارَةَ الْجُنُبِ ثُمَّ قال بَعْدَ ذِكْرِ طَهَارَةِ الْجُنُبِ { وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أو على سَفَرٍ أو جاء أَحَدٌ مِنْكُمْ من الْغَائِطِ أو لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فلم تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا } فَأَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ أَوْجَبَ الْوُضُوءَ من الْغَائِطِ وَأَوْجَبَهُ من الْمُلَامَسَةِ وَإِنَّمَا ذَكَرَهَا مَوْصُولَةً بِالْغَائِطِ بَعْدَ ذِكْرِ الْجَنَابَةِ فَأَشْبَهَتْ الْمُلَامَسَةُ أَنْ تَكُونَ اللَّمْسَ بِالْيَدِ وَالْقُبْلَةَ غير الْجَنَابَةِ .أخبرنا مَالِكٌ عن بن شِهَابٍ عن سَالِمِ بن عبد اللَّهِ عن أبيه قال قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بيده من الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أو جَسَّهَا بيده فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ .( قال الشَّافِعِيُّ ) وَبَلَغَنَا عن بن مَسْعُودٍ قَرِيبٌ من مَعْنَى قَوْلِ بن عُمَرَ وإذا أَفْضَى الرَّجُلُ بيده إلَى امْرَأَتِهِ أو بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أو بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عليه الْوُضُوءُ [1]
“berkata Imam Syafi’I; Allah menyebut  kata-kata wuduk kepada orang yang akan menunai shalat dan mengumpamakannya seperti orang yang bangun tidur. Maka hendaknya ia mensucikan dirinya dari hadats junub. Kemudian Allah menyatakan bahwa apabila ia sakit,merantau, barusan buang air besar,atau menyentuh wanita, jika tidak menemukan air maka hendaknya ia bertayamum. Kuat disini kewajiban berwudhuk karena buar air besar dan bersentuhan. Dalam menyebutnkan kalimat  junub dan  ghaidh Allah menyebutnya  bersambungan sehingga memberikan pemahaman bahwa sentuh itu dengan tangan atau makna lumsu adalah qublah/cium bukan maknanya watak/bersetubuh. Hal ini diperkuat oleh hadis Malik dari Sihab dari Salim” فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أو جَسَّهَا بيده فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُjuga diperkuat oleh hadits Mas’ud.
 ( قال الشَّافِعِيُّ ) وَمَعْقُولٌ إذْ ذَكَرَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْغَائِطَ في آيَةِ الْوُضُوءِ أَنَّ الْغَائِطَ الْخَلَاءُ فَمَنْ تَخَلَّى وَجَبَ عليه الْوُضُوءُ
 أخبرنا سُفْيَانُ قال حدثنا الزُّهْرِيُّ قال أخبرني عَبَّادُ بن تَمِيمٍ عن عَمِّهِ عبد اللَّهِ بن زَيْدٍ قال شكى إلَى رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إلَيْهِ الشَّيْءُ في الصَّلَاة [2]ِ
وقال الشافعية: ينقض الوضوء بلمس الرجل المرأة الأجنبية غير المحرم، ولو ميتة، من غير حائل بينهما، ينقض اللامس والملموس، ولو عجوزا شهواء أو شيخا هرما، ولو بغير قصد، ولا ينقض شعر وسن وظفر، أو لمس مع حائل.
والمراد بالرجل والمرأة: ذكر وأنثى بلغا حد الشهوة عرفا، أي عند أرباب الطباع السليمة. والمراد بالمَحْرم: من حرم نكاحها لأجل نسب أو رضاع أو مصاهرة، فلا ينقض صغير أو صغيرة لا يشتهى أحدهما عرفا غالبا لذوي الطباع السليمة، فلا يتقيد بابن سبع سنين أو أكثر، لاختلافه باختلاف الصغار والصغيرات، لانتفاء مظنة الشهوة. ولا ينقض مَحْرم بنسب، أو رضاع، أو مصاهرة كأم الزوجة لانتفاء مظنة الشهوة.
وسبب النقض: أنه مظنة التلذذ المثير للشهوة التي لا تليق بحال المتطهر[3].
2.      Menurut Fiqh Hanafiyah
Adapun dalil yang dipakai oleh Imam abu Hanifah adalah ;[4]
1- قوله تعالى: {أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ} [المائدة 5/ 6]، وحقيقة اللمس: ملاقاة البشرتين ، أم الحنفية فأخذوا بما نقل عن ابن عباس ترجمان القرآن رضي الله عنهما : أن المراد من اللمس الجماع ، وبما قال ابن السكيت : أن اللمس إذا قرن بالنساء يراد به الوطء ، تقول العرب : لمست المرأة أي جامعتها ، فيجب المصير في الآية إلى إرادة المجاز : وهو أن اللمس يراد به الجماع ، لوجود القرينة وهو حديث عائشة الذي سيأتي .
وأما المالكية والحنابلة الذين قيدوا اللمس الناقض بما إذا كان لشهوة : فجمعوا بين الآية والأخبار الآتية عن عائشة وغيرها .
2- حديث عائشة: أن النبي )ص( كان يُقَبِّل بعض أزواجه، ثم يصلي ولا يتوضأ[5]
3- حديث عائشة أيضا، قالت: [إن كان رسول الله )ص( ليُصلّي، وإني لمعترضة بين يديه اعتراض الجنازة، حتى إذا أراد أن يوتر مسَّني برجْله[6]. فيه دليل على أن لمس المرأة لا ينقض الوضوء، والظاهر أن مسها برجله كان من غير حائل.
4- حديث عائشة أيضا، قالت: [فَقَدْتُ رسول الله )ص( ليلة من الفراش، فالتمسته، فوضعت يدي على باطن قدميه، وهو في المسجد، وهما منصبتان، وهو يقول: اللهم إني أعوذ بك من سَخَطك، وبمعافاتك من عقوبتك، وأعوذ بك منك، لا أحصى ثناء عليك، كما أثنيت على نفسك[7] وهو يدل على أن اللمس غير موجب للنقض.



3.      Analisis
ودليلهم: العمل بحقيقة معنى الملامسة في اللغة في الآية: {أَوْ لاَمَسْتُمْ النِّسَاءَ} [المائدة 5/ 6]، وهو الجس باليد، أو ملاقاة البشرتين، أو لمس اليد، بدليل قراءة: {أَوْ لَمَسْتُمْ} [المائدة 5/ 6] فإنها ظاهرة في مجرد اللمس من دون جماع.
وأما حديث عائشة في التقبيل فهو ضعيف، ومرسل. وأما حديث عائشة في لمسها لقدمه )ص( فمؤول بأن اللمس يحتمل أنه كان بحائل، أو أنه خاص بالنبي. لكن في هذا التأويل تكلف ومخالفة الظاهر.
ويبدو لي أن اللمس العارض أو الطارئ، أو الذي لا لذة أو لا شهوة فيه غير ناقض للوضوء، وأما اللمس الذي يصحبه الشهوة فهو ناقض، وهذا في تقديري أرجح الآراء.[8]

Dari dalil dali yang telah dikemukakan, maka dapat dipahami bahwa Imam syafi’I mengamalkan dengan makna dhahir dari kalimat لاَمَسْتُمْ yaitu bersentuhan dengan tangan atau pertemuan antara kulit laki-laki dan perempuan. Dalilnya adalah Allah menyebutkan kalimat tersebut dalam bentuk لَمَسْتُمْ dengan tidak berfaidah musyarakah. Maka secara Hakikat makna dhahirnya adalah bersentuhan bukan jimak.
Adapun Imam Abu Hanifah mememberikan pengertian berpegang dengan لاَمَسْتُمْ dengan makna majazi yaitu jimak. Hal ini karena beliau berpegang kepada hadits siti Aisyah pada masalah taqbil/ciuman (حديث عائشة: أن النبي كان يُقَبِّل بعد أزواجه، ثم يصلي ولا يتوضأ) . Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bersentuhan tan adanya/timbul syahwat antara laki-laki dan perempuan tidak meruntuhkan wudhuk, karena yang namanya jimak/watak didalamnya tentu persentuhannya menimbulkan syahwat.
Hadits qublah ini menurut para muhaditsin adalah hadits dhaif dan tergolong kedalam hadits mursal, sehingga Imam Syafi’I tidak mengambilnya sebagai dalil hukum. Adapun hadits Aisyah yang menyentuh kaki nabi itu dipertanggungkan kepada adanya penghalang/kain yang menghalangi bersentuhan langsung.
BAB EMPAT

PENUTUP

1.      Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah di uraikan sebelumnya, maka penulis apat mengambil kesimpulannya yaitu; ‘illat dari dalil persentuhan sebagai penyebab runtuhnya wudhuk menurut fiqh Hanafiyah fiqh Syafi’iyah adalah:
a.       Menurut Fiqh Hanafiyah bahwa ‘illat dari batalnya wudhuk karena persentuhan adalah adanya kelezatan, hal ini dipahami dari surat Annisa’ ayat ke 43. Didalam ayat tersebut Allah menyebutnya dalam bentuk musyarakahالنساء  او لامستم yang mengindikasikan adanya kesengajaan dari kedua belah pihak. Imam Abu Hanifah juga memahami ayat tersebut secara konstektual dimana beliau menafsirkan kalimat “lâmastum” dengan watak/berjimak. Tafsiran ini menurut beliau diperkuat dan diperjelas oleh Hadits riwayat Imam Nasai dari Aisyah yang menyatakan Nabi mencium sebahagian isterinya kemudian nabi melakukan shalat.
b.      Menurut fiqh syafi’iyah bahwa ‘illat dari batalnya wudhuk karena persentuhan adalah adanya madhannah kelezatan (sesuatu yang bisa menimbulkan syahwat nafsu) dan hal ini tidak layak dengan seseorang yang bersuci. Sehingga ketika hukum telah dikaitkan dengan madhannah, maka tidak dilihat lagi apakah timbulnya kelezatan atau tidak ini sesuai dengan kaedah imam Syafi’I   إذا نيط الحكم بالمظنة لا فرق بين وجودها وعدم ها”hukum apabila telah di kaitkan dengan madhinnah maka tidak dilihat lagi kepada wujudnya atau tidak. Adapun kalimat النساء    او لامستمdalam surat an Nisak;43 beliau mentafsirkannya secara tekstual yaitu terjadinya persentuhan apakah adanya kelezatan atau tidak, sengaja ataupun tidak. Tafsiran ini diperkuat oleh ayat yang lain yaitu surat al Maidah;6 yang dibuat dalam bentuk لمستم. Dan penyebulan “Lâmastum” itu bersambung dengan penyebutan   الْغَائِط  sesudah masalah janabah yang menandakan bahwa lumsu itu bukan janabah. Menurut ulama muhadditsin hadits “taqbil” dari Aisyah adalah hadits dhaif dan tergolong kedalam dahits mursal. Imam Syafi’I tidak memakai hadits mursal yang dhaif sebagai sumber hukum.
2.      Saran

a.       Perlunya pembahasan secara mendalam tentang illat ini supaya tidah terjadi salah pemahaman dalam mengikuti dan mengamalkan mazhab didalam furu’fiqah.
b.      Kalau terjadiperselisihan tanyalah pada ahlinya yaitu para ulama sebagai pewaris nabi.
c.       Apabila terdapat kekeliruan dalam makalah ini supaya dapat diperbaiki.

[1] Imam Asy Syafi’I, Al Um, (maktabah syamilah, t.t), h. 15.
[2]  Imam Asy Syafi’I, Al Um, jld 1, (maktabah syamilah,t.t), h. 1
[3]  Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islam Wadillatuhu, (Bairut; Dar Fikr, t.t), h. 429
[4] Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islam Wadillatuhu,juz 1, (Bairut, t.t), h. 429
[5]  رواه أبو داود والنسائي وأحمد والترمذي ، وهو مرسل ، وضعفه البخاري ، وكل طرقة معلولة ، قال ابن حزم:  لا يصح في الباب شيء ، وإن صح فهو مجهول على ما كان عليه الأمر قبل نزول الوضوء من المس (نيل الأوطار : 1 / 190)

[6]  النسائي ، قال ابن حجر : إسناده صحيح (نيل الأوطار : 1 / 196)
[7]  رواه مسلم والترمذي وصححه والبيهقي ، وانظر هذه الأحاديث في نصب الراية : 1 / 70 - 75

[8]  Wahbah az zuhaili, Fiqh Islam wa adillatuhu (Bairut: dar Fikr t.t), h. 430




[1] Jalaluddin ,hasyiah qulyubi wal umairah, jld 1  (maktabah syamilah, t.t) h. 51.
[2] Zainuddin al malibari, Ianatuth Thalibin,juz 1, (maktabah syamilah, t.t) h. 27.
[3] Dr..Muh.Dachlan Arifin.Pokok-pokok Bersuci Dan Hikmahnya Menurut Ajaran Islam.Dian Yogyakarta.1987.Hlm 42.
[4] Almardi, iqna’ lilmawaridi, (makabah syamilah, t.t), h.23.
[5] Imam Asy Syafi’I, Al Um, (maktabah syamilah, t.t), h. 15.
[6] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,(Jakarta: Lentera, 2001), h. 25.
[7]Mizanul Sya’rani dalam pembahasan ashbabul hadats.
[8][8] H.R.Ashabus Sunnah.

[1] Ibn Hajar al-haitami, ghayatul wushul (Semarang: toha putera, tt), h. 4.
[2] Nafsi azali adalah sesuatu yang tidak berhuruf dan bersuara dan adanya itu  tidak didahului oleh tiada.
[3] Imam An Nawawi, Minhaju At Thalibin, (Indonesia: Al Haramain Sangkapurah, t.t) h. 37.
[4] Syekh Zainuddin Al Malibari, Ianatuht thalibin (Indonesia:Sangkapurah Jeddah, t.t) h. 64

No comments:

Post a Comment