Translate

Monday, May 21, 2018


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله المنفرد بالإيجاد. والصلاة والسلام على سيدنا محمد أفضل العباد. وعلى آله وأصحابه أولى البهجة و الرشاد. وبعد

 


ALASAN WAJIB BELAJAR SIFAT 20

Pertama,

Setiap orang yang beriman harus meyakini bahwa Allah ta`ala wajib memiliki semua sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya.
Mereka harus meyakini bahwa mustahil Allah ta`ala memiliki sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Mereka juga harus meyakini pula bahwa Allah berkuasa melakukan atau meninggalkan penciptaan segala sesuatu yang bersifat mumkin yaitu seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberi rezki, mengurniakan kebahagiaan , menimpakan kecelakaan dan lain-lain lagi.
Kesemua ini adalah sekian bentuk keyakinan yang paling dasar yang perlu wujud di dalam hati setiap orang Islam.

Kedua,

Para ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah sebenarnya tidak membataskan sifat-sifat kesempurnaan Allah hanya kepada 20 sifat saja.
Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah pasti Allah wajib memiliki sekian sifat tersebut, sehingga sifat-sifat kamalat (kesempurnaan dan keagungan) Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada sembilan puluh sembilan saja sebagaimana yang telah dikatakan oleh al-Imam al-Hafiz al-Bayhaqi:[2]
"وَقَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنَّ لِلَّهِ تَسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا)) لايَنْفِيْ غَيْرَهَا, وَإِنَّمَا أَرَادَ وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّ مَنْ أَحْصَى مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةً وَ تِسْعِيْنَ اِسْمًا دَخَلَ الْجَنَّةَ".
Maksudnya:

“Sabda Nabi sallallahu`alaihi wasallam : Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama”, tanpa menafikan nama-nama selainnya. Nabi sallallahu`alaihi wasallam hanya bermaksud -wallahu a`lam-, bahwa barangsiapa yang menghitung sembilan puluh sembilan nama tersebut akan dijamin masuk syurga”.
Pernyataan al-Hafiz al-Bayhaqi di atas bahwa nama-nama Allah ta`ala sebenarnya tidak terbatas dalam jumlah sembilan puluh sembilan dengan didasarkan pada hadith shahih: [3]
"عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ بَصَرِيْ، وَجَلاءَ حَزَنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ ".
Maksudnya:

"Ibn Mas’ud berkata, Rasulallah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:” Ya Allah, sesungguhnya aku Hamba-Mu.. Aku memohon dengan perantara setiap Nama yang Engkau miliki, baik yang Engkau namakan Dhat-Mu dengan-Nya, atau yang Engkau turunkan nama itu dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkannya kepada sesiapa di kalangan makhluk-Mu, atau yang hanya Engkau saja yang Mengetahui-Nya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, jadikanlah al-Quran sebagai taman/pengubat hatiku, cahaya mataku, penghilang kesedihanku dan penghapus rasa gundahku".
Hadits di atas menjelaskan bahwa di antara nama-nama Allah ta`ala yang telah dijelaskan di dalam al-Qur’an, ada di antaranya yang diketahui oleh sebagian hamba-Nya dan ada yang hanya diketahui oleh Allah ta`ala saja. Sehingga berdasarkan kepada Hadits tersebut, nama-nama Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada 99, maka apatah lagi 20 sifat yang telah dirumuskan oleh para ulama’ yang melaut ilmu mereka itu.

Ketiga,

Para ulama’ telah membagikan sifat-sifat khabariyyah, yaitu sifat-sifat Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti yang terdapat di dalam al-Asma’ al-Husna, kepada dua bagian.
Pertama, Sifat al-Zat yaitu sifat-sifat yang ada pada Zat Allah ta`ala, yang antara lain adalah sifat 20.
Dan kedua, Sifat al-Af`al, yaitu sifat-sifat yang sebenarnya adalah perbuatan Allah ta`ala, seperti sifat al-Razzaq, al-Mu`thi, al-Mani`, al-Muhyi, al-Mumit, al-Khaliq dan lain-lain.
Perbedaan antara keduanya adalah, sifat al-Zat merupakan sifat-sifat yang menjadi Syart al-Uluhiyyah, yaitu syarat mutlak ketuhanan Allah ta`ala.
Kesemua sifat tersebut telah menyucikan zat Allah ta`ala daripada semua sifat yang tidak layak bahkan mustahil untuk disandarkan kepada zat Allah yang Maha Agung. Dari sini para ulama’ telah mentapkan bahwa Sifat al-Zat ini adalah azali (tidak ada permulaan), dan baqa’ (tidak ada pengakhiran bagi Allah).
Hal tersebut berbeda dengan Sifat al-Af`al, ketika Allah ta`ala memiliki salah satu daripada Sifat al-Af`al, maka lawan kepada sifat tersebut adalah tidak mustahil bagi zat Allah ta`ala, bahkan ia menunjukkan lagi perihal kehebatan dan keagungan Allah kerana mampu menciptakan dua perkara yang berlawanan berdasarkan fungsi yang terkandung di dalam nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah ta`ala kepada zat-Nya yang Maha Agung seperti;

sifat al-Muhyi (Maha Menghidupkan),
al-Mumit (Maha mematikan),
al-Dhar (Maha Memberi Bahaya) dan
al-Nafi` (Maha Memberi Manfaat),
al-Mu`thi (Maha Pemberi) dan
al-Mani` (Maha Pencegah) dan lain-lain.
Di samping itu, para ulama’ mengatakan bahwa Sifat al-Af`al itu adalah baqa’.[4]

Keempat,

Dari sekian banyak Sifat al-Zat yang wujud tersebut, maka sifat dua puluh dianggap cukup dalam memberi kefahaman kepada kita bahwa Allah ta`ala memiliki segala sifat kesempurnaan dan maha suci Allah daripada segala sifat kekurangan.
Di samping itu, kesemua Sifat al-Zat yang telah terangkum dalam sifat dua puluh tersebut, dari sudut fakta, telah ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an, al-Sunnah dan dalil-dalil aqli.[5]


Kelima,

Sifat dua puluh tersebut dianggap cukup kuat untuk menjadi benteng kepada akidah seseorang daripada terpengaruh dengan faham yang keliru atau menyeleweng dalam memahami sifat Allah ta`ala.
Sebagaimana yang telah kita maklum aliran-aliran yang menyimpang daripada fahaman Ahlussunah wal Jama`ah seperti Wahhabi, Muktazilah, Musyabbihah, Mujassimah, Karramiyyah dan lain-lain telah menyifatkan Allah ta`ala dengan sifat-sifat makhluk yang kesemua sifat tersebut dilihat dapat meruntuhkan kesempurnaan dan kesucian zat Allah ta`ala.
Maka dengan memahami sifat dua puluh tersebut, iman seseorang akan dibentengi daripada keyakinan-keyakinan yang menyongsang fahaman arus perdana umat Islam berhubung zat Allah ta`ala.
-       Misalnya, ketika golongan mujassimah mengatakan bahwa Allah ta`ala itu duduk di atas `Arasy, maka hal ini akan ditolak dengan salah satu daripada sifat Salbiyyah yang wajib bagi zat Allah ta`ala yaitu; Qiamuhu Binafsih (Allah ta`ala tidak berhajat kepada sesuatu).
-       Ketika musyabbihah mengatakan bahwa Allah ta`ala memiliki anggota tubuh badan seperti mata, tangan, kaki, muka, betis dan lain-lain, maka dakwaan tersebut akan ditolak pula dengan sifat wajib bagi Allah ta`ala yang lain yaitu sifat Mukhalaftuhu lilhawadith (Allah tidak menyerupai sesuatupun).
-       Ketika golongan Muktazilah menafikan kewujudan sifat ma`ani pada zat Allah ta`ala dengan mengatakan bahwa Allah ta`ala maha kuasa tetapi tidak mempunyai sifat qudrat, maha mengetahui tetapi tidak mempunyai ilmu, maha berkehendak tetapi tidak mempunyai iradat, maka dakwaan songsang tersebut akan ditolak dengan sifat-sifat ma`ani yang jumlahnya adalah tujuh yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama`, basar dan kalam.
Demikian pula dengan sifat-sifat yang lain.[6]

الْقَائِدَةُ: "الْجَهْلُ بِالصِّفَاتِ يُؤَدِّيْ إِلَى الْجَهْلِ بِالْمَوْصُوْفِ مَنْ لا يَعْرِفُ صِفَاتِ الله لا يَعْرِفُ الله".
Kaedah: “Jahil tentang sifat (Allah) membawa kepada jahil dengan yang mempunyai sifat (Allah), siapa yang tidak mengenal sifat Allah, tidak mengenal Allah ta`ala”.
----------------------------
[1] KH. Muhyiddin Abd al-Somad (2009), Aqidah Ahlussunnah Wal Jama`ah Terjemah dan Syarh Aqidah al-Awam, Jakarta: Khalista Surabaya, h. 25.
[2] Al-Hafiz al-Bayhaqi (1959), al-I`tiqad `ala Mazhab al-Salaf Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, Abu al-Fadhl Abdullah Muhammad al-Siddiq al-Ghumari (ed.), Kaherah: Dar al-`Abd al-Jadid, , h. 14.
[3] Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (3528), al-Hakim di dalam al-Mustadrak (1830) dan al-Tabarani di dalam al-Mu`jam al-Kabir (10198). Al-Hafiz Ibn Hibban menilainya sahih di dalam Sahih-nya (977).
[4] Al-Hafiz al-Bayhaqi(1959), op.cit., h. 15, 21 dan 22; Abu Mansur Abdul Qahir al-Baghdadi (1981), Usul al-Din, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, h. 122-125. Dari sini dapat kita fahami bahwa pernyataan sebagian kalangan beberapa tahun yang lalu, bahwa untuk saat ini sifat Rahmah Allah ta`ala adalah lebih layak ditekankan untuk diketahui daripada sifat-sifat yang lain, adalah tidak ada asasnya. Ini adalah bertitik tolak daripada ketidakfahaman mereka terhadap sifat al-Zat yang menjadi Syart al-Uluhiyyah dan Sifat al-Af`al yang bukan Syart al-Uluhiyyah.
[5] Hasan al-Ayyub (2003), Tabsit al-`Aqaid al-Islamiyyah, Kaherah: Dar al-Salam, h. 17.
[6] Lihat pernyataan Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali tentang tujuan mempelajari ilmu kalam menerusi kitabnya al-Munqidz min al-Dhalal, lihat al-Ghazzali (1998), al-Munqidz min al-Dhalal, Abdul Halim Mahmud (ed.), Kaherah: Dar al-Ma`arif, h. 36.

Wallahu a’lam. Wahuwa musta’an.
Wassalam ila manittaba’al huda.




AWWALUDDIN MA’RIFATULLAH

Kewajiban pertama sekali yang dipundakkan kepada setiap muslimin adalah mengenal Allah. Mengenal Allah adalah dengan mengenal sifat-sifat Allah. Sifat-sifat Allah hanya Allah yang mengetahui jumlahnya, namun Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah merangkum sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh setiap muslim sebanyak empat puluh satu sifat yang terbagi kepada tiga kelompok. Kemudian juga wajib terhadap setiap muslim mengetahui sifat-sifat Rasul. Ulama Ahlussunnah merangkumnya dengan jumlah sembilan sifat dalam tiga kelompok. Jumlah sifat Allah dan Rasul yang diwajibkan kepada setiap muslim untuk mengenalnya adalah lima puluh sifat yang dikenal dengan ‘aqidah lima puluh atau i'tiqad lima puluh.
Kemudian juga diwajibkan kepada setiap muslim mengetahui dalil tiap-tiap i'tiqad lima puluh secara ijmaly. Maksud dalil ijmali adalah dimana seseorang mengetahui dalil tiap-tiap i'tiqad lima puluh tetapi ia tidak mampu menjawab jika ada yang bertanya “dari sisi mana dalil tersebut dapat dijadikan sebagai dalil”. Contohnya dalil wujud Allah adalah “ada makhluk”, jika ditanyakan dari sudut pandang apa “makhluk” menjadi dalil kepada wujud Allah, apakah karena imkannya (sama keadaan makhluk antara “ada” dantiada”. pen) atau dari sudut pandang bahwa makhluk itu “ada” setelah didahului terlebih dahulu oleh “tiada
Jika ia tidak mampu menjawabnya, maka ia dikatakan telah mengetahui dalil ijmaly. Namun jika ia mampu memberi jawaban atas pertanyaan "dari sudut pandang apa dalil tersebut dapat didijadikan sebagai dalil", maka ia dikatakan telah mengetaui dalil tafshily. Dalil ijmaly wajib diketahui oleh setiap muslim, karena taqlid pada masalah tauhid (mengenal i'tiqad lima puluh tanpa mengetahui dalil) tidak dibolehkan menurut pendapat yang kuat. Artinya jika seseorang telah mengetahui i'tiqad lima puluh beserta dalil ijmaly untuk tiap-tiap i'tiqad lima puluh, maka iman seseorang tersebut tidak diperselisihkan lagi. Akan tetapi jika ia hanya mengenal i'tiqad lima puluh tanpa mengetahui dalilnya, Ulama Ahsunnah wal Jama’ah berbeda pendapat tentang keimanannya, sebagian Ulama mengatakan bahwa orang tersebut adalah kafir, namun sebagian Ulama lagi mengatakan bahwa ia tetap muslim.

Muqaddimah

Untuk mengetahui i'tiqad lima puluh, harus diketahui terlebih dahulu wajib (pada akal), mustahil (pada akal) dan jaiz (pada akal). Karena itu mengetahui wajib, mustahil dan jaiz hukumnya juga wajib berdasarkan qaedah

ما يتوقف عليه الواجب يكون واجبا
sesuatu yang terhenti atasnya wajib (pada syara’) maka sesuatu tersebut juga wajib (pada syara’)”
-       Wajib (pada akal) adalah sesuatu yang tidak diterima oleh akalketiadaannya”, seperti mengambil tempat kosong bagi sebuah jirm (ex: pohon, batu dll). Akal tidak menerima jika sebuah jirm tidak mengambil tempat yang kosong, artinya ia berada pada tempat jirm lain seperti batu A menempati tempat batu B. Akal tidak akan menerima ini, bahwa batu A menempati sebuah tempat yang telah ditempati batu B. Jika batu A berada diatas batu B, maka dikatakan batu A menempati tempat di atas batu B bukan pada tempat yang ditempati batu B. Jadi wajib pada akal sebuah jirm menempati tempat yang kosong.
-       Mustahil (pada akal) adalah sesuatu yang tidak diterima oleh akal wujud “adanya”, seperti seseorang tidak ada padanya gerak dan diam pada detik yang sama. Akal tidak menerima adanya (ada pada seseorang tidak bergerak dan tidak diam dalam satu waktu.
-       Jaiz (pada akal) adalah sesuatu yang dapat diterima oleh akal “ada” dan “tiadanya”, seperti “ada” dan “tiada” anak bagi zaid. Akal menerima bahwa zaid mempunyai anak, dan akal juga menerima bahwa zaid tidak mempunyai anak.

Perlu diperhatikan bahwa wajib pada syara’ (agama) berbeda dengan wajib pada akal. Wajib pada syara’, seperti “wajih terhadap muslim shalat lima waktu”, maksud wajib disini adalah wajib pada syara’ yaitu mendapat fahala jika dekerjakan dan mendapat dosa jika ditinggalkan. Kalimat wajib yang dimaksudkan dalam pembahasan selanjutnya adalah wajib pada akal, bukan wajib pada syara.

1. WUJUD


Sifat yang wajib pada Allah ada dua puluh sifat. Dua puluh sifat ini terbagi dalam empat kelompok, Nafsiyah, Salbiyah, Ma’any dan Ma’nawiyah.
Sifat Nafsiyah adalah sebuah sifat yang terdapat pada sebuah zat yang tidak disebabkan adanya oleh sifat yang lain. Akal tidak dapat mencerna sebuah zat tanpa adanya sifat Nafsiyah. Yang termasuk dalam kelompok sifat Nafsiyah hanya satu sifat wajib yaitu WUJUD.
Wujud adalah sebuah sifat yang terdapat pada suatu zat selama zat tersebut ada. Jika dikatakan wujud Zaid, maka pengertiannya adalah sebuah sifat yang wajib ([pada akal] akal tidak menerima ketiadaannya) terdapat pada zat Zaid selama Zaid itu ada dan adanya sifat wujud Zaid bukan karena ada sifat yang lain pada zat Zaid. Artinya selama Zaid ada maka Zaid bersifat dengan wujud.

Not : Wujud pada Zaid bukanlah wujud pada Allah, wujud Zaid huduts (tidak kekal) sedangkan wujud Allah qadim (kekal). Disini hanya penjelasan tentang definisi dari setiap sifat, bukan menyatakan bahwa sifat Allah sama dengan sifat makhluk. Contoh yang disebutkan hanya semata-mata bertujuan untuk mudah difahami maksud dari definisi sifat tersebut.



Dalil sifat wujud

Dalil sifat wujud adalah huduts alam. Huduts adalah sebuah zat yang “ada”nya didahului oleh “tiada” atau lebih ringkas dikatakan “ada setelah tiada”, alam adalah segala sesuatu selain Allah. Huduts alam menjadi dalil terhadap wujud Allah karena akal tidak menerima bahwa alam “ada” dengan sendirinya tanpa ada pencipta. Kita contohkan alam dengan bumi. Bumi sebelum “ada” berada pada posisi yang sama antara “ada” dan “tiada”. Manakala bumi ini telah “ada” maka hilanglah “tiada” pada bumi, tentu akal tidak menerima jika “ada” pada bumi dan hilangnya “tiada” pada bumi terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menentukan bumi menjadi “ada” dan tanpa ada yang menghilangkan “tiada” pada bumi. Cara akal tidak dapat menerima bahwa bumi “ada” dengan sendirinya adalah; dua hal yang berada pada posisi yang sama tidak mungkin lebih kepada salah satu tanpa ada yang menentukan. Contohnya pimpina perusahaan mengatakan kepada kita “kamu berhak mendapat gaji Rp.100 atau Rp.200”. Posisi Rp.100 dan Rp.200 adalah sama sebelum kita menerima gaji. Saat kita menerima Rp.200 tentu ada alasannya, tidak mungkin (akal tidak menerimanya) tanpa ada sebuah alasan. Jadi DUA HAL YANG SAMA TIDAK MUNGKIN LEBIH KEPADA SALAH SATU TANPA ADA YANG MENENTUKAN
Begitu juga “ada” dan “tiada” pada bumi, akal tidak dapat menerima bahwa secara tiba-tiba “ada” terdapat pada bumi dan “tiada” hilang dengan sendirinya dari pada bumi padahal antara “ada” dan “tiada” berada pada posisi yang sama sebelum bumi “ada”. Karena bumi telah “ada” maka pasti ada yang menentukan “ada” pada bumi dan menghilangkan “tiada” dari pada bumi. Yang menentukan “ada” pada bumi tidak lain kecuali tuhan, tiada tuhan kecuali Allah ‘azza wa jalla.

Kesimpulan dalil wujud

Alam adalah huduts (ada setelah tiada), setiap yang huduts perlu kepada muhdits (yang menentukan/menciptakan). Dari sini dapat kita fahami bahwa alam ada yang menciptakan. Artinya pencipta itu “ada” yaitu WUJUD. Jadi huduts alam menjadi dalil terhadap WUJUD ALLAH.

Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment