Translate

Sunday, June 3, 2018

Hukuman Potong Tangan Bagi Pencuri


Hukuman Potong Tangan Bagi Pencuri
(Perbandingan Fiqh Syafi’iyah Dengan Hukum Positif Pasal 362 KUHP)

A.    Latar Belakang masalah
Islam merupakan agama yang selalu menebar pesona keindahan dan kedamaian bagi seluruh umat. Sebagaimana tercakup dalam tujuan pensyari’atan hukum Islam dan dijelaskan dalam kaidah ushuliyah, Tujuan umum Syar’i dalam mensyari’atkan hukum adalah untuk merealisir kemashlahatan manusia dalam kehidupan dengan menarik keuntungan dan melenyapkan bahaya bagi mereka. (Abdul Wahab Khallaf , Kaidah – kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul fiqh, (Jakarta :  PT Raja Grafindo Persada, 2002) ,hal 321). Adapun kebutuhan manusia yang dijaga itu tercakup dalam tiga hal yaitu Dharuriah (pokok), kebutuhan Hajiyah (sekunder), dan kebutuhan Tahsiniah (Pelengkap). Dari ketiga hal ini yang paling penting untuk dipelihara adalah kebutuhan yang bersifat dharuriyah (pokok), karena kalau seorang manusia tidak terpenuhi kebutuhan dharuriyah nya, maka akan timbul kehancuran bagi mereka. Hal–hal yang bersifat primer (dharuriyah) bagi manusia dalam hal ini berpangkal kepada pemeliharaan lima perkara, yaitu : agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.Berdasarkan teori ini, pencurian merupakan salah satu gejolak sosial yang dapat mengganggu kebutuhan primer masyarakat dan juga merupakan salah satu gejolak yang sangat buruk dan sulit untuk dihilangkan secara menyeluruh. Islam telah mengharamkan pencurian dan telah menetapkan hukuman terhadap pencuri dengan hukuman had  dan ta’zir, sebagai balasan terhadap perbuatannya. Para ulama telah sepakat bahwa setiap barang yang dapat di miliki, dapat dijual, dan bisa digantikan dengan barang lain, maka pencurian terhadap barang- barang ini dikenakan hukuman potong tangan. (Ibn Rusyd, Bidayah al Mujtahid, Juz II, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t), hal 337).
Tujuan hukum Pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.U.H.P) adalah mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga hak dan kepentingan masyarakat terjamin. (Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1985), hal 148).Dari tujuan ini dapat kita ketahui bahwa tujuan hukum Positif dan hukum Islam mempunyai suatu kesamaan. Namun dalam hukum positif kepentingan-kepentingan hukum yang di lindungi disini ada enam bagian, yang meliputi ; jiwa seseorang, badan, kehormatan, kemerdekaan, dan harta benda. Satu hal yang berbeda adalah UU mengakui kemerdekaan bagi setiap warga dan tidak mengakui adanya perbudakan. Menurut K.U.H.Pidana, pencurian merupakan suatu hal yang terlarang dan diancam dengan hukuman berupa siksaan badan, bukan potong tangan. Tetapi kalau melihat kepada adanya keistimewaan dari hukum pidana yaitu hukuman yang dapat mencakup kepada hukuman yang bisa melanggar kepribadian seseorang yang di kenakan hukuman, misalnya hukuman mati, didenda dan di penjara, atau bila melihat kepada hukuman mati bagi para pembunuh bayaran, maka tidak mustahil dalam kasus pencurian dapat juga dilaksanakan hukuman potong tangan.
Dalam fiqh syafi’iyah pemberlakuan hukuman potong tangan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu apabila barang yang dicuri telah sampai nisabnya (ukuran/kadar harga barang yang dicuri), tidak adanya syubhat terhadap barang curian, dapat dipindahkan kepemilikannya kepada pihak yang lain, berharga (mempunyai nilai jual), dan halal.
Hukum positif tidak mengenal adanya nisab terhadap barang curian, tetapi pencuriannya hanya dibedakan menjadi tiga macam ; pencurian ringan, pencurian berat (pencurian dengan pemberatan), dan pencurian dengan kekerasan. Barang yang dicuri menurut K.U.H.Pidana tidak mesti barang yang mempunyai nilai ekonomis, sehingga apabila seseorang mengambil beberapa helai rambut wanita tanpa izin, maka ia dapat dikatakan sebagai pencuri. Pasal 367(1) KUHP dijelaskan bahwa:”Jika pembuat atau pembantu dari salah-satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (isteri) dari yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan”. ( Soenarto Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Dengan Mahkamah Agung Dan Hoog Raad, (Jakarta: PT Raja  Grafindo Persada,  2000), hal 225).
Dari Pasal jelas bahwa dalam hukum positif apabila tindak pidana pencurian di lakukan oleh suami/isteri maka mereka tidak bisa dituntut dengan syarat tidak pisah meja, ranjang, dan harta kekayaan. Kalau dalam hukum Islam pencurian ini digolongkan kedalam pencurian harta syubhat yang tidak dikenakan hukuman potong tangan. Keistimewaan hukum pidana memungkinkan hukuman potong tangan diterapkan dalam hukum positif. Namun karena Indonesia adalah Negara yang berpegang kepada UUD 45 dan berideologi Pancasila yang mengakui keberadaan beberapa agama, maka ketika kelompok Muslim ingin memastikan hukum potong tangan diterapkan dalam hukum positif, pihak pemerintah mencap mereka separatis atau pengacau dan sebagainya. Padahal kalau seorang Muslim melakukannya maka ia juga harus menerima hukuman itu pula. ( Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), hal 57).  
Apabila pemberlakuan hukum potong tangan di bedakan antara kelompok Muslim dengan non Muslim, hal ini berlawanan dengan logika hukum yang mengikat kepada setiap orang tanpa adanya perbedaan dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat negara. Ketika syariah telah telah dituangkan menjadi aturan hukum dalam suatu masyarakat, maka hukum itu harus di junjung secara bersama-sama. Sungguh aneh jika dua orang yang mencuri diberikan hukuman yang berbeda hanya karena yang satu Muslim sedangkan yang lainnya bukan Muslim. Persoalan esensial lainnya adalah pemberlakuan hukuman potong tangan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Karena ketika tangan si pencuri di potong (amputasi) maka hak individu pencuri tersebut telah dilanggar. Direktur Aceh Judicial Monitoring Institut (AJMI) Hendra Budian ketika ditanyakan tentang Qanun potong tangan bagi pencuri mengatakan melanggar HAM ketika ada orang yang melakukan pencurian, karena negara tidak dapat memenuhi kesejahteraan warganya. ( Www Serambi News Com , Diakses tanggal 27 April 2007).
Dalam hal ini terdapat dua pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yaitu hak pribadi pada pencuri untuk tidak disiksa dan hak mendapatkan keamanan dan perlindungan terhadap harta masyarakat. Namun dari kedua hal ini tentulah hak pribadi pencuri tidak dilanggar kalau ia tidak melanggar hak orang lain. Masyarakat modern menganggap potong tangan suatu hal yang berat dan tidak layak. Mereka mengharapkan kasih sayang masyarakat kepada penjahat, tetapi tidak meminta kasih sayang dari penjahat terhadap masyarakat yang telah menggangu ketentraman masyarakat, sehingga masyarakat selalu dalam kecaman rasa takut terhadap dirinya dan hartanya. ( Mu’ammal Hamidi Dkk, Terjemahan tafsir ayat Ahkam Ash- Shabuni, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003), hal 505-506).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka yang ingin penulis kaji dan teliti terumus dalam dua  pertanyaan:
1.      Bagaimana konsep fiqh syafi’iyah dan hukum positif tentang pemberlakuan hukum terhadap tindak pidana pencurian.
2.      Relevansikah jika hukuman potong tangan diterapkan dalam hukum positif Indonesia?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui Bagaimana konsep fiqh syafi’iyah dan hukum positif tentang pemberlakuan hukum terhadap tindak pidana pencurian.
2.      Untuk mengkaji relevansikah jika hukuman potong tangan diterapkan dalam hukum positif Indonesia?

D.    Penjelasan Istilah
1. Hukuman
Dr Muslim, MA dalam bukunya fiqh muqarran memberikan pengertian hukum adalah: hukum berasal dari bahasa arab yang arti logawinya adalah menetapkan sesuatu pada sesuatu, atau meniadakan ketentuan itu. Sedangkan menurut istilah fiqh hukum adalah:
خطب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاءً او تخييرا او وضعا
Artinya : Titah Allah yang berkaitan dengan aktifitas orang mukallaf berupa tuntutan atau pilihan atau ketetapan. ( Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqarran, (Jakarta: Erlangga, 1990), hal 5).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kalimat yang mempunyai pengertian yang sama dengan “tuntutan atau pilihan atau ketetapan adalah kalimat “Hukuman”. Dimana hukuman berasal dari kata “hukum” yang ditambah dengan akhiran “an” mempunyai pengertian ancaman, siksa, dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya, keputusan yang dijatuhkan oleh hakim. ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal 315).

Hukuman dalam istilah fiqh disebut “uqubah”. Syeh Abdul Qadir memberi definisi uqubah yaitu:
العقو بة هي الجز اء المقوي للمصلحة علي عصيان الشارع
Artinya: Hukuman adalah pembalasan yang di tetapkan untuk menjaga kemashlahatan umum terhadap pelanggaran ketentuan syara’. ( Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ Al Jinai Al Islami Muqarrab bil Qanun Al-Wadhi, (Beirut Libanon: Dar Al Qutub Al-Araby, t.t.), hal 609).
Dari penjelasan ini, hukuman yang dimaksud dalam penulisan ini adalah ancaman atau sanksi pembalasan dan siksaan atas suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Hukuman itu ditetapkan untuk memelihara dan menciptakan kemashlahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang tercela, karena Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.

2. Tangan
Tangan merupakan salah satu bagian dari anggota tubuh, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tangan berarti; anggota badan dari siku sampai ke ujung jari atau dari pergelangan sampai ujung jari. Syekh Ibrahim menyatakan: ” Kata-kata tangan (يد ) secara bahasa adalah mulai dari ujung jari hingga bahu, kalau menurut istilah fuqaha’ dalam bab wudhu’ mulai dari ujung jari hingga siku, sedangkan dalam bab sirqah (pencurian) dan seumpamanya mulai dari ujung jari hingga kepada pergelangan. (Syekh Ibrahim, Al Bajuri ‘Ala Syarh Matn At-Taqrib,Juz I, (Semarang: Putera Semarang, t.t.), hal 50).Tangan yang dipotong karena hukuman had yang penulis maksudkan disini mulai dari pergelangan hingga kepada ujung jari.Jadi yang dipotong adalah pada pergelangannya.

3. Pencuri
Dalam bahasa Arab pencuri berasal dari kalimat ism fa’il yaitu :”سا رق ” yang mempunyai pengertian yaitu:
أخذ ه منه خفية وحيلة
“ Mengambil Sesuatu benda secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam”. (Louis Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut:  Al-Kalsulikiyah, t.t.), hal 331).
Syeikh Syihabuddin menyatakan bahwa pencurian adalah mengambil sesuatu (harta) orang lain yang tiada syubhat baginya, secara sembunyi-sembunyi pada tempat penyimpanannya yang layak ( Syekh Syihabuddin Al Qulyubi, Al Mahalli ‘Ala Minhaj, Juz II, (Semarang: Toha Putra, t.t.), hal 187).
Ibn Rusyd mendefinisikan, pencuri ialah orang yang melakukan tindakan mengambil barang (harta) orang lain secara sembunyi-sembunyi tanpa diberi kepercayaan untuk menjaga barang tersebut. Dalam Kamus Istilah Agama, “pencuri/ sariqah” diartikan dengan perbuatan seseorang berupa mencuri, yaitu mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempat yang layak untuk disimpan. ( M Shodiq,  Kamus Istilah Agama, (Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1990), hal 300).
Pencurian yang penulis maksudkan disini adalah pelaku atau orang yang melakukan suatu perbuatan mengambil barang (harta) milik orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak.

4. Hukum Positif
Rien G Karta Saputra, Menjelaskan arti Hukum Positif adalah : Hukum yang berlaku pada tempat dan waktu tertentu, hukum yang berlaku sekarang ditanah air kita adalah Hukum Positif Indonesia. ( Rien G Karta Saputra, Pengantar Hukum Lengkap, (Jakarta: Bina Aksara, Cet I, 1988), hal 25).
E Ultrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia, memberikan pengertian Hukum Positif adalah : Hukum yang berlaku pada saat ini atau hukum yang berlaku pada saat – saat tertentu dan pada tempat tertentu. ( E Ultrecht, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Penerbit dan Balai Buku Ikhtiar, Cet IX, 1966), hal 38).
Berdasarkan dari dua pengertian diatas, maka yang penulis maksudkan dari Hukum Positif disini adalah hukum yang sedang berlaku di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.

E.     Metode Penelitian
Pembahasan dalam jurnal ini tertumpu pada perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif Indonesia tentang hukuman terhadap pencuri dan relevansinya hukuman potong tangan bagi pencuri jika diterapkan dalam hukum positif Indonesia. Dalam pembahasan ini tentunya penulis banyak merujuk kepada teori-teori dan pembahasan fiqh jinayah dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Indonesia. Penulis akan menganalisis bahan-bahan dan data untuk mendapatkan pemahaman yang jelas tentang permasalahan yang ingin dikaji.
Dalam masalah pembahasan dan pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian  Komperatif,  yaitu dengan mengadakan perbandingan antara hukum pencurian dalam Fiqh Syafi’iyah dengan hukum yang ada dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian. Selanjutnya penulis menggunakan metode penulisan deskriptif analisis yaitu dengan membahas masalah yang timbul sekarang untuk dianalisis pemecahannya berdasarkan buku-buku dan sumber-sumber yang berkaitan untuk kemudian dicari jalan keluarnya. (Soedjono dkk, Metodelogi Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 22-23).

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (Library Reseach) yaitu menelaah dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan atau penelitian berdasarkan sumber-sumber rujukan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas yang ada di perpustakaan STAI Al-‘Aziziyah Samalanga, serta perpustakaan lainnya. Sumber data utama adalah kitab-kitab yang berkaitan tentang fiqh jinayah seperti At- Tasyri’ Al Islami Muqarran bil Qanun Al-Wadhi (Abdul Qadir ‘Audah), Tuhfatul muhtaj (Ibnu Hajar Al-Haitami), Bidayatul Mujtahid (A. Dzajuli), Al Bajuri (Syehk Ibrahim), Al mahalli (Syehk Syihabuddin), Tafsir Ahkam (Syehk H A Halim Hasan), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Dan lain-lainnya.
Adapun sumber data sekunder / data pendukungnya penulis merujuk pada beberapa buku diantaranya adalah seperti: Ilmu Hukum (Satjipto Raharjo), Fiqh Sunnah (Sayid Sabiq), Hukum Acara Peradilan Islam (Raihan Rasyid), dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.

Pengertian Pencurian
Pengertian pencurian secara etimologi adalah mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan secara terminologi (Menurut istilah fiqh) pencurian adalah mengambil barang-barang (harta) orang lain secara sembunyi-sembunyi pada tempat penyimpanannya terhadap harta yang bukan miliknya baik sebagian atau seluruhnya. ( Syehk Syihabuddin Al-Qulyubi, Al-Mahalli, Juz IV, hal 187)
Dalam kalangan orang Arab yang di katatakan dengan pencurian adalah:
من جأ مستترا إلى حرز فأخذه منه ما ليس له
Artinya: pencuri adalah orang yang datang secara sembunyi-sembunyi ke tempat penyimpanan suatu barang untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya. (Abdul Karim Al-Quzwaini, Al-Muharra, Dar Al- Kutub Al-Ilmiyah, hal .433.)
Dari pengertian di atas jelas bahwa pencurian merupakan suatu perbuatan kejahatan untuk mengambil harta milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang layak. Pencurian termasuk kedalam jarimah hudud yang mempunyai pembahasan tertentu secara terperinci. Adapun pengertian pencurian menurut Syehk Syamsuddin (salah seorang ulama As-Syafi’iyah) adalah:
أخذه خفية ظلما من حرز مثله
            Artinya: mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi secara dhalim dari tempat penyimpanannya.
            Orang yang mengambil barang milik orang lain dengan sangkaan miliknya sendiri, dan orang yang mengambil hartanya sendiri dengan sangkaan milik orang lain, tidak dikatakan mencuri karena pda kedua kejadian tersebut proses mengambil tidak secara dhalim. (tanpa hak dengan maksud untuk memiliki harta orang lain)
Untuk mengetahui pengertian pencurian menurut hukum positif, maka kita perlu untuk melihat lebih jauh penjelasan yang terdapat dalam KUHPidana dan penjelasannya.
Kata “curi” secara bahasa artinya adalah mengambil dengan diam-diam, sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh orang lain. Menurut hukum positif pencurian adalah perbuatan mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagiannya adalah kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. ( Pipin Syarifin, Hukum Pidana Indonesia, hal.8) Definisi ini sesuai dengan bunyi pasal 362 (1) KUHPidana yaitu “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan oang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dan hukum , karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-”
Dari definisi diatas dapat kita ketahui bahwa perbuatan mengambil milik orang lain untuk dimiliki dengan tanpa hak adalah perbuatan yang melanggar dengan ketentuan undang-undang. Dan dari pasal 362 (1) terdapat berberapa unsur pencurian yaitu :
1)      Adanya perbuatan pelaku yang mengambil tanpa hak.
2)      yang diambil harus berupa satu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
3)      Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum.

Dasar Hukum Larangan Pencurian
Dasar hukum larangan pencurian dalam agama Islam adalah surat Al Maidah ayat 38.
و السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بماكسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم (الماء دة : 38)
Artinya : Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana (Al Maidah:38)
Asbabun nuzul dari ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dari Abdillah bin Amrin adalah, pada zaman Rasulullah Saw ada seorang perempuan yang mencuri, kemudian perempuan itu di potong tangannya, sebagaimana di perintahkan Allah SWT dalam ayat ke 38 ini. ( A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al Qur’an, hal.312).
Dalam ayat tersebut Allah secara tegas menetapkan bahwa bagi siapa saja yang melakukan perbuatan pencurian baik laki-laki maupun perempuan maka akan dikenakan hukuman had yaitu potong tangan sebagai balasan dari perbuatannya. Tidak ada perbedaan antara laki-laki yang mencuri dengan perempuan terhadap hukumannya.
Dasar hukum larangan mencuri dalam hukum positif adalah KUHP pasal 362 ayat 1 “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan oang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, di hukum karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-”
Pasal ini merupakan penjelmaan dari UUD 45 pada BAB XA Hak Asasi Manusia Pasal 28G ayat ke (1) satu  yaitu :”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. (Undang – Undang Dasar Tahun 1945, Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, hal. 75)
Yang menjadi dasar utama dalam larangan pencurian adalah UUD 45 sebagaimana yang telah di sebutkan di atas. Dari pasal 28G tersebut jelas bahwa Negara melindungi setiap hak pribadi manusia termasuk di dalamnya perlindungan terhadap harta benda yang ada di bawah kekuasaannya. Pasal 28G Bab Hak Asasi Manusia UUD 1945 merupakan hasil kesepakatan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada perubahan yang ke dua dari empat perubahan yaitu tanggal 18 Agustus 2000 yang di ketuai oleh Bapak Prof. Dr.H.M. Amien Rais.

Dasar Hukum Potong Tangan bagi Pencuri
Untuk melihat dalil-dalil / dasar bagi hukuman potong tangan bagi pencuri terlebih dahulu perlu diketahui bahwa pencurian di bagi menjadi dua yaitu pencurian yang diancam dengan hukuman had dan pencurian yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pencurian yang diancam dengan hukuman had dibagi menjadi dua yaitu: sariqah sughra (pencurian kecil atau biasa) dan sariqah qubra (pencurian besar atau pemberatan) Pencurian kecil adalah pengambilan harta orang lain secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan pencurian besar adalah pengambilan harta orang lain terang terangan atau dengan kekerasan.
Pencurian yang diancam hukuaman takzir ada dua jenis, pertama, pencurian yang diancam dengan hukuman had, namun tidak memenuhi syarat untuk dapat dilaksanakan had karena ada hal yang syubhat (seperti mengambil harta milik anak sendiri atau harta bersama). Kedua,  mengambil harta dengan sepengetahuan pemiliknya, dengan tidak menggunakan kekerasan (seperti mengambil jam tangan yang berada di tangan pemiliknya dengan sepengetahuan pemiliknya dan membawanya lari atau menggelapkan uang titipan). ( A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 7). Para fuqaha’ sependapat bahwa seorang pencuri dapat diancam dengan hukuman had (potong tangan), hal ini sesuai dengan surat Al Maidah ayat 38 yaitu:

و السارق والسارقة فاقطعوا أيد يهما جزاء بماكسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم)الماء دة :  38(

Artinya : Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana (Al-Maidah:38).
Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang kadar (nilai) harta yang dicuri, yang dapat mengakibatkan hukuman had (potong tangan) terhadap para pelaku pencurian. Perbedaan ini secara umum disebabkan karena berbedanya pemahaman dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam hal ini ada tiga pendapat, pertama, pendapat yang mengatakan nilai atau kadar barang curian yang wajib dikenakan hukuman potong tangan adalah seperempat dinar yaitu pendapat dari Imam As-Syafi’i dan pengikutnya atau sering disebut dengan As-Syafi’iyah .Kedua, pendapat yang mengatakan tiga Dirham ini adalah pendapat Imam Malik dan Hanbali. Ketiga, pendapat yang mengatakan nisab sariqah yang wajib dikenakan hukuman had (potong tangan) sebanyak sepuluh dirham adalah pendapat Imam Hanafi dan pengikutnya. Pendapat Imam As-Syafi’i dan para pengikutnya (Syafi’iyah) mengatakan nisab barang curian yang wajib di potong tangan (had) sebanyak seperempat dinar, berdalilkan kepada Hadits Rasulullah Saw berikut ini:
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال: لا تقطع يد السارق الا ربع دينار فصاعدا (رواه المسلم)
Artinya : Dari Aisyah r.a., dari Nabi SAW bersabda: jangan potong tangan orang yang mencuri kecuali barang yang di curinya bernilai (sampai harganya) seperempat Dinar atau lebih.(H.R.Muslim). (Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al Fikr, 1994), hal.208).
Mazhab Malik dan Hanbali serta pengikut-pengikutnya mengemukakan tentang kadar nisab pencurian yang dapat dipotong tangan yaitu tiga Dirham. Golongan ini berdalilkan kepada Hadits Rasulullah SAW yaitu;
عن عبد الله بن عمر قال : أن النبي صلي الله عليه وسلم قال: قتقطع يد سارق في مجن ثمنه ثلاثة دراهم (رواه مسلم)
Artinya : Dari Abdullah bin Umar, ia berkata bahwa Nabi SAW telah memberikan hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri (mijan) yang harganya bernilai tiga Dirham.(H.R.Muslim). (Imam Muslim, Shahih Muslim…, hal. 209).
Adapun Imam Hanafi berpendapat, bahwa nilai / kadar barang curian yang wajib di kenakan hukuman had (potong tangan) adalah satu Dinar atau sepuluh Dirham atau senilai dengan salah satu keduanya. Adapun dalil yang di pakai oleh Imam Hanafi adalah sebagai berikut:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلي الله عليه وسلم قال: لا تقطع فيما دون عشرة دراهم.(رواه أحمد)
Artinya : Dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya Nabi SAW bersabda: tidak boleh potong tangan orang yang mencuri harta benda yang tidak sampai nilainya sepuluh dirham. (H.R. Muslim). ( Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 118).
Dari uraian Surat Al Maidah ayat 38 dan Hadits-hadits di atas maka dapat di pahami bahwa hukuman potong tangan (had) merupakan suatu keharusan yang wajib diterima oleh seorang pencuri apabila perbuatan tindak pidananya telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam. Dalah fiqh Syafi’iyah Hukuman potong tangan (had) terhadap pelaku tindak pidana pencurian dapat dilaksanakan apabila kadar atau nilai barang yang dicuri tersebut telah mencapai harga ¼ Dinar.
Kalau nisab ini di kurskan / dibandingkan dengan harga rupiah, maka jalan yang harus di tempuh adalah dengan membandingkan jumlah ¼ Dinar kedalam ukuran Gram, jumlah 1 Dinar adalah 4,8 Gram, untuk jumlah ¼ Dinar adalah ¼ x 4,8 Gram. Jadi jumlah ¼ Dinar adalah 1,2 Gram. Apabila harga 1 Gram emas Rp.240.000.00 maka jumlah 1,2 Gram adalah Rp.240.000.00 x 1,2 = Rp 288.000.00. Dari sini jelas bahwa nisab pencurian yang di hukum dengan potong tangan kalau dirupiahkan adalah Rp. 288.000.00.
Imam Syafi’i menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara Hadits riwayat Bukhari dan hadits riwayat Muslim tentang kadar barang curian. Karena 1 (satu) Dinar pada ketika itu (ketika Nabi memotong tangan pencuri) sebanding dengan 12 (dua belas) Dirham. Jadi jumlah dari ¼ Dinar adalah ; 12 x ¼ = 3 Dirham. (Ibn Hajar Al Haitami, Ibn Hajar Al Haitami, Tuhfah Muhtaj, Jilid IX, Cet XII, (Beirut: Dar Fkr, t.t.), hal.146).Hadits Riwayat Thabrani dari Ibn Mas’ud yaitu:
عن إبن مسعود أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: لا تقطع إلا في عشرة دراهم .(رواه الطبرني)
Artinya : Dari Ibn Mas’ud r.a., Rasulullah SAW bersabda: tidak boleh dipotong tangan pencuri, kecuali barang-barang yang dicurinya bernilai sepuluh dirham.(H.R.Thabrani). ( Jalaluddin Abdurrahman bin Abubakar as-Suyuthi, Al-Jami’ ash-Shaghir, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 217).

Unsur-Unsur Pencurian
Untuk menguraikan unsur-unsur pencurian dan analisis perbedaan dan persamaannya, maka terdapat tiga hal yang harus di kaji. Pertama pelaku pencurian (السارق), kedua barang yang di curi (المسروق) dan adanya perbuatan untuk mencuri لسرقة) . Ketiga hal ini merupakan unsur-unsur pokok dalam tindak pidana pencurian. Dalam fiqh syafi’iyah syarat bagi pencuri yang dikenakan hukuman had (potong tangan) adalah baliqh (dewasa), berakal, melazimi bagi sebuah ketetapan hukum Islam (orang yang diberlakukan hukum Islam apabila ia melakukan perbuatan yang dilarangan dalam hukum Islam seperti orang yang beragama Islam dan kafir zimmi), atas kehendak sendiri dan mengetahui bahwa perbuatannya diharamkan dalam agama.
Dalam K.U.H.P tidak ada pengecualian hukuman bagi tindak pidana pencurian yang belum dewasa sebagaimana disebutkan dalam K.U.H.P pasal 45.Yurisprudensi MA no 42/Kr/1965 menyatakan bahwa penghukuman tertuduh yang belum berumur 16 tahun dengan hukuman 7 tahun karena bersalah melakukan pembunuhan, tidak bertentangan dengan pasal 45 KUHP, karena hukuman tersebut masih di bawah maksimum bagi anak di bawah umur dan dalam pasal 45 KUHP. Dalam pelaksanaannya ada tiga Alternatif yang dapat di pilih oleh hakim  dalam menghukum anak yang bersalah.

Syarat-syarat Terhadap Pelaku Pencurian yang dikenakan potong Tangan
1.      Berdasarkan Fiqh Syafi’iyah
Para fuqaha’ Asy-Syafi’iyah telah sepakat bahwa penetapan hukuman had terhadap para pelaku tindak pidana pencurian yaitu apabila pencurian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

A.    Mukallaf
Mukallaf merupakan salah satu syareat untuk dapat diancam hukuman had terhadap para pelaku tindak pidana mencuri, tanpa memandang kepada jenis kelaminnya, (laki-laki atau perempuan), martabatnya (hamba sahaya atau merdeka), dan juga agamanya (muslim ataupun dzimmi).Orang gila atau anak-anak jika melakukan pencurian mereka tidak dapat diancam dengan hukuman had, karena keduannya bukan mukallaf, hal ini sesuai dengan pendapat Ibn Rusyd, yaitu; pelaku pencurian yang dapat diancam dengan hukuman had (potong tangan) adalah orang yang mencuri itu mukallaf (dewasa dan berakal). Maka anak kecil dan orang gila yang mencuri tidak dapat diancam dengan hukuman had, karena keduanya bukan mukallaf. Hal tersebut tidak terkecuali, baik dia orang merdeka / hamba sahaya, laki-laki / perempuan, muslim atau dzimmi. ( Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa’, t.t.), hal.649).
Dari pendapat ini, dapat dipahami bahwa para pelaku pencurian yang dapat diancam dengan hukuman had yaitu harus orang mukallaf. Hal ini merupakan salah satu syarat penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana pencurian. Apabila ia belum dewasa dan atau ia tidak berakal, tidak dapat diancam dengan hukuman had, karena ia tidak termasuk kedalam kategori mukallaf (dewasa dan berakal).

B.     Kehendak Sendiri
Seperti tindak pidana lainnya, terdapat unsure kesengajaan untuk memiliki barang tersebut atau ada i’tikad (niat) jahat pelakunya. Hal ini terbukti bila si pelaku mengetahui bahwa hukum mencuri itu haram, tetapi tetap saja ia melakukan perbuatan mencuri. Seandainya barang atau harta tersebut terbawa tanpa di sengaja, walaupun dalam jumlah yang besar atau mencapai nisab, maka tidak dianggap sebagai jarimah pencurian, melainkan karena kelalaian dan hukumannya pun hanya sekedar peringatan untuk berhati-hati. Dengan demikian, pelaku tindak pidana pencurian dapat diancam dengan hukuman had apabila tindakan pencurian itu dilakukan atas kehendaknya sendiri bukan karena adanya unsur paksaan dari pihak yang lain.  Bila ia dipaksa untuk mencuri maka ia tidak dapat di kategorikan sebagai pencuri yang harus diancam dengan hukuman had, karena paksaan itu menghilangkan kehendaknya sendiri sehingga ia tidak digolongkan kepada orang yang di takhlif kan dalam agama.

  1. Menurut Hukum Positif
A.    Sengaja
Dalam delik pencurian perbuatan yang di lakukan itu haruslah secara sengaja. Tindakan mengambil yang disebutkan dalam pasal 362 KUHP “ Barang siapa mengambil“ dan digabungkan dengan kalimat “Dan dengan maksud untuk memilikinya “ memberikan suatu pengertian bahwa harta / barang yang di curi tersebut belum ada dalam kekuasaannya. (Sugandi, KUHP Dengan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 2000), hal. 250).
Dari penjelasan di atas, jikalau seseorang mengambil suatu barang karena keliru tidak dikatakan pencurian, adapun orang yang menemui barang di jalanan kemudian ia mengambilnya, maka tindakan orang tersebut kalau ketika mengambil dengan maksud memiliki, perbuatan tersebut di golongkan kedalam kategori pencurian. Maka yang membedakan perbuatan itu tergolong kedalam pencurian atau tidak adalah berada pada maksud seseorang ketika mengambilnya. Seseorang yang mencuri karena dipaksa oleh orang lain tidak dapat dihukum karena perbuatan yang ia lakukan tidak berdasarkan kesengajaannya. Ini sesuai dengan Pasal 48 KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Untuk lebih jelas tentang arti sengaja maka kita akan melihat Memori Penjelasan ( Memorie van Toelichting ) Belanda tahun 1886. Memori ini (MvT) mempunyai arti yang sangat penting bagi KUHP Indonesia karena KUHP Indonesia bersumber dari KUHP nya Belanda. Dalam memori ini dijelaskan bahwa “sengaja (opzet) berarti ‘de (bewuste) richting van den wil opeen bepaald misdriif” ( kehendak yang di sadari yang di tujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). (Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta:  PT Rineka Cipta, 1994), hal.106). Jadi Maksud dari sengaja dalam delik pencurian ini adalah suatu perbuatan pencurian yang dilakukan dengan adanya kehendak dan secara sadar.

B.     Melawan hukum
Perbuatan pencurian yang dikenakan hukuman adalah pencurian yang dilakukan dengan melawan hukum. Maksud dari melawan hukum perbuatan melanggar hukum (rechtsdelict) atau melanggar undang-undang (wetsdelict). ( Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1985),  hal. 156). Perbuatan melanggar hukum dikenal juga dengan “delik” yaitu rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat di pertanggung jawabkan. Perbuatan orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan seperti orang gila, tidak dikatakan melawan hukum. Perbuatan alat negara yang menginterogasi menangkap dan menahan orang tidak bisa dikatakan melawan hukum karena perbuatan tersebut sesuai dengan undang-undang pasal 21 KUHAP. (Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta 1994), hal.131). Dalam pasal 362 KUHP melawan hukum merupakan bagian inti dari sebuah delik, karena secara langsung di jelaskan dalam rumusan delik, yaitu pada kalimat “…dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dan hukum…”. Di Indonesia arti melawan hukum adalah tanpa kewenangan yang melekat padanya ataupun tanpa dia berhak melakukan demikian.

Relevansi Hukuman Potong Tangan Dalam Hukum Positif
Membahas relevansi hukuman potong tangan diterapkan dalam hukum positif terlebih dahulu harus diketahui adalah ada tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia yaitu: sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Sistem hukum Adat merupakan sistem hukum yang tertua di Indonesia, karena ia lahir sejak adanya manusia di Indonesia. Sedangkan hukum Islam lahir ketika adanya para pedagang dari timur tengah yang singgah di Indonesia dengan membawa misi dakwah / agama. Untuk mengembangkan hukum nasional maka diperlukan sebuah ketentuan hukum baru yang tidak boleh keluar dari salah satu dari tiga sumber hukum nasional, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat. Didalam hukum nasional Indonesia ketiga sumber hukum tersebut mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang berbeda-beda. Sebagai salah satu sumber pengembangan hukum nasional, hukum Islam memiliki peluang konstitusional  yang jelas. (Abdul Hakim Barkatullah, Dkk, Hukum Islam; Menjawab…., hal. X).
Menurut Prof.Dr.Muladi,SH, secara teoritis undang-undang syari’ah Islam tidak dibenarkan di Indonesia. Sebab berdasarkan sila pertama pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” negara Indonesia tidak dibangun sebagai negara agama, akan tetapi sebagai negara yang beragama. Beliau menambahkan bahwa dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia , tidak boleh mencampur adukkan kepentingan politik dengan kepentingan agama. Sebab fungsi agama menjaga tata tertib kehidupan beragama. Penganut suatu agama harus memberikan teloransi terhadap penganut agama lain dalam menjalankan kepercayaannya. ( Muladi, “Undang-Undang Syari’ah Tidak Dibenarkan di Indonesia”, Serambi Indonesia, No.6.491, Tahun ke-40, 31 Juli 2007, hal. 14). Pendapat Muladi ini berdasarkan atas beberapa asumsi, pertama; bahwa syariat Islam hanya mengatur tentang kehidupan manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (beribadat). Seperti yang telah disebutkan bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama manusia dan manusia dengan negara (pemerintah) yang diatur dalam fiqh siyasah.
Asumsi yang kedua adalah; dalam berhubungan dengan Tuhannya (Ibadat mahdhah) Islam tidak membenarkan mencampur adukkan ibadah ritual formalnya dengan agama lain. semua itu terserah kepada masing-masing pemeluk agama untuk memilih mana ajaran yang dianggap cocok dan di yakininya. Pemerintah juga tidak bisa memaksa untuk memeluk agama tertentu karena bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi dalam hubungan antara sesama manusia dan dengan pemerintah Islam tidak menutup pintu terhadap adanya pemeluk agama lain yang ingin memutuskan hukum berdasarkan hukum Islam, sebagaimana telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Prof.Dr. Hazairin (ahli hukum) mengatakan bahwa dalam pasal UUD 1945 terkandung prinsip antara lain tidak boleh dibuat peraturan yang bertentangan dengan kaidah agama, dan negara berkewajiban menjalankan syari’at agama-agama. (Hazairin, Demkrasi Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1985),  hal. 33-34).Pendapat ini sesuai dengan isi TAP MPR RI No IV/ MPR/ 1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan penetapan hukum nasional yaitu “ Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat...”.  Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa UUD 1945 mengakui dan menghormati pluralisme hukum dalam masyarakat. Untuk meng-implementasikan hal ini, pemerintah perlu untuk membuat sebuah kebijakan politik, seperti kebijakan otonomi. Dengan adanya pluralisme hukum, maka berkembanglah hukum nasional Indonesia seperti penyelesaian hukum melalui Mahkamah Syari’ah di Provinsi NAD. Perkembangan hukum melalui jalan perundang- undangan (melalui badan-badan legislatif) sangat lamban, namun hukum dapat pula secara sah lahir diluar prosedur perundang-undangan, yaitu melalui yurisprudensi dan conversi ( melalui keputusan-keputusan hakim dan melalui hukum publik yang tidak tertulis). Sebelum menjadi hukum positif, syari’at Islam membutuhkan formulasi dalam bentuk kode hukum Islam yang siap pakai sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk maksud tersebut sebagai salah satu hukum Islam Hukuman potong tangan harus diformulasikan terlebih dahulu dalam kode hukum Islam yang siap pakai, sehingga relevan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Kesimpulan
Pencurian merupakan salah satu jenis perbuatan pidana atau jarimah yang saasarannya adalah perampasan  harta benda milik orang lain dengan cara melawan hukum. Dalam fiqh Syafi’iyah pelaku pencurian dikenakan hukuman had potong tangan apabila tindakan yang dilakukan telah memenuhi beberapa syarat, yaitu pelakunya orang yang mukallaf, dilakukan dengan kehendak sendiri, tidak ada Syubhat pada harta yang di curi, dan sampai nisab. Adapun kadar nisab barang curian menurut Syafi’iyah adalah ¼ Dinar. Menurut Imam Syafi’i ketentuan kadar 3 Dirham  yang terdapat dalam Hadits riwayat Muslim sebenarnya sebanding dengan jumlah ¼ Dinar yang ada dalam riwayat Bukhari, karena satu Dinar pada masa Nabi yaitu ketika Nabi memotong tangan pencuri sebanding dengan 12 (dua belas) Dirham. Jadi junlah dari ¼ Dinar adalah : 12 x ¼ = 3 Dirham. Jumlah ¼ Dinar adalah 4,8 Gram emas. Jadi, ¼ Dinar adalah sebanding dengan 1,2 Gram emas. Dalam KUHP pelaku tindak pidana pencurian tidak di hukum dengan hukuman potong tangan, tetapi apabila delik  tindak pidana pencurian telah terpenuhi maka di hukum dengan hukuman kurungan badan (penjara). Sebagaimana yang dimaksudkan dalam KUHP pasal 362. Adapun delik pencurian yaitu; sengaja, melawan hukum, berupa suatu barang, barang yang dicuri seluruhnya atau sebahagiannya adalah milik orang lain. Dalam hukum positif tidak dikenal dengan harta syubhat.
Pemberlakuan hukuman potong tangan bagi pencuri dalam hukum positif dimungkinkan dan sangat relevan sebagaimana penetapan hukuman mati bagi para teroris dan kasus psitropika berat, dan seperti pemberlakuan hukuman cambuk bagi pelaku khalwat, mesum dan khamar. Pemberlakuan hukum Islam dalam hukum positif merupakan upaya eksitensi yaitu mengeksiskan kembali hukum Islam di Indonesia sebagaimana telah ada sebelum kemerdekaan. Namun ada beberapa ketentuan yang harus di perhatikan, Pertama; pemberlakuan hukum terhadap seluruh penduduk Indonesia tanpa memandang kepada jenis kelamin, martabat dan agama. Inilah perwujudan dari tujuan hukum pidana untuk mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga hak dan kepentingannya terjamin, dengan membentuk sebuah kode hukum yang siap pakai sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua; pemberlakuan hukum terhadap kaum muslim saja yaitu dengan menyusun sebuah UU / Qanun yang mencakup kepada kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana, sehingga kekuasaan Peradilan Agama dalam bidang tindak pidana semakin jelas dan kuat.  Dengan demikian setiap keputusan dari Peradilan Agama, tidak perlu terlebih dahulu mendapat pengabsahan dari Pengadilan Negeri seperti pasal 63 ayat 2 UU No 1 Tahun 1974.


No comments:

Post a Comment