ILMU FARAIDH:
SEJARAH, DASAR HUKUM, DAN KEPENTINGANNYA
"Pelajarilah
Al-Qur'an dan ajarkan kepada orang-orang, dan pelajarilah ilmu faraidh dan
ajarkan kepada orang-orang. Karena aku adalah orang yang bakal direnggut
(mati), sedang ilmu itu bakal diangkat (hilang). Hampir-hampir saja ada dua
orang yang bertengkar tentang pembagian harta warisan, tetapi mereka tidak
menemukan seorang pun yang mampu memberitahukan kepada mereka."
(H.R. Ahmad, An-Nasa'i, dan Ad-Daruquthni)
(H.R. Ahmad, An-Nasa'i, dan Ad-Daruquthni)
Hadits di atas
menjadi motto yang penulis cantumkan di dalam software (perangkat
lunak) Sistem Pakar Faraidh Islam Versi 1.0 yang, alhamdulillah,
berhasil dibuat penulis sebagai tesis dalam menyelesaikan program Magister Ilmu
Komputer. Perangkat lunak ini dapat membantu penghitungan bagian para ahli
waris menurut hukum Islam dengan cepat dan akurat, dan juga sebagai pembanding
terhadap penghitungan secara manual.
Tulisan ini
merupakan pengantar untuk memahami seluk-beluk ilmu faraidh. Dalam tulisan ini,
pembahasan hanya sampai pada pengertian ilmu faraidh, sejarah perkembangan,
dasar hukum, dan kepentingannya. Harapan penulis, ilmu ini tidak (lagi)
dijadikan momok yang menakutkan dengan alasan sulit mempelajarinya (seperti
halnya pelajaran matematika), bahkan hendaknya mulai sekarang juga, umat Islam
menetapkan niat yang ikhlas untuk mempelajarinya, dan untuk kemudian
mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.
Kata faraidh
adalah bentuk jamak dari faridhah. Faridhah diambil dari kata
fardh yang artinya taqdir (ketentuan). Fardh secara syar'i
adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu mengenai hal itu
dinamakan "ilmu waris" atau "ilmu miirats" atau "ilmu
mawaris" atau "ilmu faraidh". Dalam tulisan ini, penulis
menggunakan istilah "ilmu faraidh".
Prof. Dr. Amir
Syarifuddin menggunakan istilah "hukum kewarisan Islam" berkaitan
dengan ilmu faraidh, dan mendefinisikannya sebagai berikut: "seperangkat
peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Nabi SAW tentang hal
ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang
masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang
beragama Islam."
Pada masa Arab
jahiliyah sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, waris-mewarisi terjadi karena tiga
sebab, yaitu karena adanya pertalian kerabat (hubungan darah, qarabah),
pengakuan atau sumpah-setia (muhalafah), dan pengangkatan anak
(adopsi, tabanniy). Sebab-sebab itu masih belum mencukupi sebelum
ditambah lagi dengan dua syarat, yaitu sudah dewasa dan orang laki-laki.
Anak-anak pada
masa itu tidak mungkin menjadi ahli waris karena dianggap tidak mampu berjuang,
memacu kuda, memainkan pedang untuk memancung leher lawan dalam membela suku
dan marga, di samping status hukumnya yang masih berada di bawah perlindungan
walinya. Sementara itu, kaum perempuan tersisih dari kelompok ahli waris karena
fisiknya yang tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat di medan laga serta jiwanya
yang sangat lemah melihat darah tertumpah. Dengan demikian, para ahli waris
jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari laki-laki, yaitu anak
laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak paman yang semuanya harus sudah
dewasa.
Pengakuan
yang berupa ucapan atau sumpah-setia antara dua orang yang mengikatkan keduanya
sehingga dapat saling mewarisi juga dibenarkan sebagai sebab mewarisi. Ucapan
itu misalnya seseorang mengatakan kepada orang lain, "Darahku darahmu,
pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku
perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu
…." Kemudian jika orang lain itu menyetujuinya, maka kedua orang itu
berhak saling mewarisi. Hal ini sampai masa awal-awal Islam masih berlaku, dan
masih dibenarkan menurut Surat An-Nisa': 33.
Pada masa
jahiliyah, pengangkatan anak menyebabkan anak itu dijadikan
dan berstatus sebagai anak kandung bagi orang yang mengangkatnya dan dinasabkan
kepada bapak angkatnya, bukan kepada bapak kandungnya. Ini berarti, seorang
anak laki-laki yang menjadi anak angkat, jika telah dewasa dapat menjadi ahli
waris dari bapak angkatnya.
Pada masa
awal-awal Islam ada lagi sebab untuk mewarisi, yaitu karena ikut hijrah dari
Mekkah ke Madinah, dan karena persaudaraan (muakhkhah) antara kaum
Muhajirin dan Anshar. Pada masa itu, Rasulullah SAW mempersaudarakan sesama
kaum Muhajirin dan antara kaum Muhajirin dan Anshar, dan menjadikan
persaudaraan ini sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi harta
peninggalan. Hijrah dan muakhkhah pada masa itu dibenarkan oleh Allah
SWT menurut Surat Al-Anfal: 72.
Setelah
penaklukan kota Mekkah (futuh Makkah)
pada tahun ke-8 hijriyah, seiring kondisi umat Islam yang sudah mulai kuat dan
stabil, maka kewajiban hijrah dicabut sesuai dengan hadits Nabi SAW, "Tidak
ada kewajiban berhijrah lagi setelah penaklukan kota Mekkah." Demikian pula, sebab
mewarisi karena muakhkhah dihapuskan oleh Allah melalui Surat
Al-Ahzab: 6.
Selanjutnya,
Allah membatalkan aturan yang menyatakan bahwa hanya laki-laki dewasa yang
dapat menjadi ahli waris, tidak termasuk wanita dan anak-anak, melalui Surat
An-Nisa': 7, 11, 12, 127, dan 176. Sebab mewarisi atas dasar sumpah-setia pun
kemudian dihapuskan Allah melalui Surat Al-Anfal: 75. Dan terakhir, kewarisan
karena adopsi dibatalkan oleh Allah berdasarkan Surat Al-Ahzab: 4, 5, dan 40.
Hukum waris
Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam
dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistem
pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka.
Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan
memiliki harta benda – kecuali wanita dari kalangan elite – bahkan wanita
menjadi sesuatu yang diwariskan (lihat tafsir dan asbabun nuzul
Surat An-Nisa': 19).
Melalui
Al-Qur'an, Allah merinci dan menjelaskan bagian tiap-tiap ahli waris dengan
tujuan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini
persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan
hubungan keluarga. Ternyata, di samping karena keserakahan dan ketamakan
manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan
hakikat waris dan cara pembagiannya. Kekurangpedulian umat Islam terhadap
disiplin ilmu ini memang tidak dapat dimungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah
mengisyaratkannya: "Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu
faraidh."
Ayat Al-Qur’an
yang menjadi dasar hukum waris Islam, yaitu Surat An-Nisa’: 11, 12, dan 176
berisi ketentuan pembagian waris secara lengkap. Pada ketiga ayat ini dapat
diketahui enam macam bagian untuk para ahli waris, yaitu 1/2 (setengah), 1/4
(seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga), 1/6 (seperenam), dan 2/3
(dua pertiga). Rincian dan penjelasan ayat-ayat ini, insyaallah, akan
diberikan pada tulisan-tulisan selanjutnya. Selain ketiga ayat ini, ayat-ayat
lain yang berkaitan seperti yang telah disebutkan di atas, merupakan ayat-ayat
pelengkap hukum waris. Di samping itu, terdapat beberapa hadits tentang
mawaris, antara lain yang menetapkan bagian untuk kakek, nenek, anak perempuan,
cucu perempuan, saudara perempuan, paman, dan orang yang (pernah) memerdekakan
mayit (pada saat mayit berstatus budak).
Kenyataan saat
ini bahwa perselisihan dalam masalah pembagian harta warisan sudah terjadi di
tengah-tengah masyarakat secara umum – bukan hanya yang melanda umat Islam –
menjadi salah satu bukti kebenaran hadits Nabi Muhammad SAW yang merisaukan
keadaan umat di akhir zaman. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA,
beliau berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Ilmu itu ada tiga, selain
yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang
jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraid."
(HR Ibnu Majah). Juga diriwayatkan, dari Abu Hurairah RA, beliau berkata
bahwa Nabi saw. bersabda, "Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah
kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraidh separuh ilmu; ia akan
dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat (dicabut, hilang) dari
umatku." (HR Ibnu Majah dan ad-Daruquthni). Hadits-hadits ini
merupakan sebagian dari peringatan Nabi SAW tentang pentingnya mempelajari ilmu
faraidh.
Allah SWT,
melalui Surat An-Nisa': 13, menjanjikan surga kepada orang-orang yang mengikuti
aturan-Nya dalam masalah warisan, "(Hukum-hukum pembagian warisan yang
disebutkan) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir
di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar." Sebaliknya, Allah SWT mengancam orang-orang
yang tidak melaksanakannya seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa':14, "Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya
(dalam pembagian warisan), niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan."
Akhirnya,
masih ada satu lagi hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud
yang memerintahkan agar kita membagi harta warisan menurut kitab Al-Qur'an, "Bagilah
harta warisan di antara para ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur'an)."
Sebagai
kesimpulan dari tulisan kali ini, ilmu faraidh sangat penting dan memiliki
dasar hukum yang kuat, sama kuatnya dengan hukum syariat lainnya seperti
shalat, puasa, zakat, dan haji. Sejarah perkembangan ilmu faraidh dengan
turunnya ayat-ayat mawaris membawa kemaslahatan bagi semua pihak, dan hal ini
memiliki banyak hikmah. Selanjutnya, penulis menghimbau kepada para pembaca
umat muslimin dan juga penulis sendiri untuk berusaha menjalankan tuntunan
pembagian warisan menurut hukum Islam dengan dimulai dari diri dan keluarga
masing-masing sebagai salah satu bukti ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah
SAW.
Ilmu Faraidh: Ahli Waris dan Klasifikasinya
"Berikanlah
faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan
selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang
terdekat."
(HR Bukhari dan Muslim)
(HR Bukhari dan Muslim)
Dalam faraidh
Islam, seseorang dapat menjadi ahli waris dari orang lain
dikarenakan adanya salah satu dari tiga sebab, yaitu hubungan
kekerabatan (hubungan nasab, hubungan darah), hubungan perkawinan, dan
hubungan wala'. Hubungan wala' adalah hubungan kewarisan
karena seseorang pernah membebaskan orang lain dari perbudakan (kemudian yang
dibebaskan itu meninggal) sehingga yang membebaskan itu berhak mewarisi.
Mewarisi
dapat terjadi jika dipenuhi tiga rukun. Pertama
adalah adanya pewaris, yaitu orang yang
meninggal dunia. Kedua adalah adanya ahli waris,
yaitu orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan
adanya salah satu sebab mewarisi seperti disebutkan di atas. Dan ketiga adalah adanya
harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Sementara itu,
syarat terjadinya kewarisan ada tiga. Yang pertama adalah matinya
pewaris, baik mati haqiqy (sejati, sebenarnya, secara de
facto), mati hukmy (menurut putusan hakim, secara de jure),
atau mati taqdiry (menurut dugaan). Syarat kedua adalah hidupnya
ahli waris pada saat kematian pewaris. Dan ketiga adalah tidak
adanya penghalang dari mewarisi.
Adapun penghalang
dari mewarisi adalah karena perbudakan (budak tidak
memiliki hak mewarisi dari tuannya), karena pembunuhan (orang
yang membunuh pewaris tidak berhak mewarisi hartanya), dan karena perbedaan
agama (orang yang berbeda agama tidak bisa saling mewarisi).
Berdasarkan
pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, dalam menerima harta warisan, para
ahli waris memiliki prioritas penerimaan warisan menurut
susunan berikut:
1.
Ashhabul-Furudh (Nasabiyah
dan Sababiyah);
2.
‘Ashabah Nasabiyah;
3.
Radd kepada Ashhabul-Furudh;
4.
Dzawil-Arham;
5.
Radd kepada salah seorang
suami-isteri;
6.
Ashabah Sababiyah (Maulal-‘ataqah);
7.
‘Ashabah laki-laki
dari Maulal-‘ataqah;
8.
Orang yang didakukan nasabnya
kepada orang lain;
9.
Orang yang menerima wasiat
melebihi 1/3 harta peninggalan; dan
10. Baitul Maal.
Kesepuluh
urutan ahli waris ini tampaknya sarat dengan istilah faraidh dalam bahasa Arab.
Untuk itu, masing-masing akan dijelaskan secara rinci. Dan pembagian warisan
untuk para ahli waris ini nantinya harus dilaksanakan menurut urutan penyebutan
kesepuluh macam golongan ahli waris ini. Pada tulisan ini, pembahasan hanya
sampai pada ahli waris ashhabul-furudh dan 'ashabah.
Pembahasan untuk kelompok ahli waris lainnya, insyaallah, akan
diberikan pada tulisan selanjutnya.
Ashhabul-furudh
adalah semua ahli waris yang mendapat bagian (fardh) tertentu seperti tertulis
dalam Al-Qur'an, Surat
An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176, yaitu 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat),
1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua pertiga), 1/3 (sepertiga), dan 1/6 (seperenam).
Karena keterbatasan ruang, terjemahan ketiga ayat ini tidak dimuat di sini.
Kepada pembaca, dipersilakan membuka Al-Qur'an. Ditinjau dari jenis kelamin, ahli
waris ashhabul-furudh yang perempuan
terdiri dari isteri, anak perempuan, cucu perempuan (dari keturunan anak
laki-laki), saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, saudara
perempuan seibu, ibu, dan nenek (dari pihak ibu maupun dari pihak bapak).
Sementara yang laki-laki terdiri dari suami, bapak, kakek
(bapak dari bapak), dan saudara laki-laki seibu. Semua ashhabul-furudh
yang disebutkan ini adalah ashhabul-furudh nasabiyah (karena hubungan
nasab), kecuali suami dan isteri yang termasuk ashabul-furudh sababiyah
(karena hubungan perkawinan). Dari rincian ini ternyata kebanyakan ahli
waris yang mendapat bagian yang sudah jelas menurut Al-Qur'an adalah perempuan.
Ditinjau dari
bagian (fardh) yang akan diperoleh, maka ashhabul-furudh yang
menerima bagian setengah ada lima orang, yaitu
1.
seorang anak perempuan (jika tidak
bersama-sama dengan anak laki-laki),
2.
seorang cucu perempuan keturunan
anak laki-laki (jika tidak ada cucu perempuan atau cucu laki-laki keturunan
anak laki-laki),
3.
suami (jika tidak ada anak),
4.
seorang saudara perempuan kandung
(jika tidak ada saudara laki-laki kandung), dan
5.
seorang saudara perempuan sebapak
(jika tidak ada saudara laki-laki sebapak).
Bagian seperempat adalah untuk dua macam ahli waris, yaitu
1.
suami (jika ada anak) dan
2.
isteri (jika tidak ada anak).
Sementara itu, fardh seperdelapan hanya diperuntukkan bagi seorang ahli waris, yaitu isteri jika memiliki anak.
Adapun ahli waris yang mendapat dua
pertiga ada empat macam, yaitu
1.
dua orang anak perempuan atau
lebih (jika tidak ada anak laki-laki),
2.
dua orang cucu perempuan atau
lebih (jika tidak ada cucu laki-laki atau anak perempuan),
3.
dua orang saudara perempuan
kandung atau lebih (jika tidak ada saudara laki-laki kandung), dan
4.
dua orang saudara perempuan
sebapak atau lebih (jika tidak ada saudara laki-laki sebapak, anak perempuan,
cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung).
Bagian sepertiga dimiliki oleh dua macam ahli waris, yaitu
1.
ibu (jika tidak ada anak, atau
tidak ada dua orang saudara atau lebih, baik kandung, sebapak, maupun seibu)
dan
2.
dua orang atau lebih saudara
seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
Terakhir, bagian seperenam menjadi hak dari tujuh macam ahli waris, yaitu
1.
bapak (jika ada anak laki-laki
atau cucu laki-laki),
2.
ibu (jika ada anak, atau ada dua
saudara atau lebih),
3.
kakek (jika ada anak laki-laki,
dan tidak ada bapak),
4.
nenek (jika tidak ada ibu),
5.
saudara laki-laki seibu atau saudara
perempuan seibu (jika seorang diri dan tidak ada anak, bapak, dan kakek),
6.
cucu perempuan (jika bersama
seorang anak perempuan), dan
7.
saudara perempuan sebapak (jika
bersama dengan saudara perempuan kandung).
Kelompok ahli
waris kedua adalah 'ashabah nasabiyah. 'Ashabah nasabiyah
adalah ahli waris yang memiliki hubungan nasab yang tidak mendapat bagian yang
tertentu jumlahnya, tetapi mendapatkan sisa ('ushubah) dari ashhabul-furudh
atau seluruh harta jika ternyata tidak ada ashhabul-furudh sama sekali.
Apabila sudah tidak ada sisa sedikit pun, maka mereka ('ashabah) tidak
mendapatkan apa-apa. 'Ashabah nasabiyah dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu ashabah
bin-nafsi, ashabah bil-ghair, dan ashabah ma'al-ghair.
'Ashabah bin-nafsi adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi oleh orang perempuan. 'Ashabah jenis ini menerima harta warisan menurut prioritas empat jurusan sebagai berikut:
'Ashabah bin-nafsi adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi oleh orang perempuan. 'Ashabah jenis ini menerima harta warisan menurut prioritas empat jurusan sebagai berikut:
1.
jurusan anak (bunuwwah,
yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya ke bawah), kemudian
2.
jurusan bapak (ubuwwah,
yaitu bapak, kakek, dan seterusnya ke atas), kemudian
3.
jurusan saudara (ukhuwwah,
yaitu saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari
saudara laki-laki kandung atau keponakan kandung, anak laki-laki dari saudara
laki-laki sebapak atau kepnakan sebapak, dan seterusnya ke bawah), dan terakhir
4.
jurusan paman ('umumah,
yaitu paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki dari paman kandung atau
sepupu laki-laki kandung, anak laki-laki dari paman sebapak atau sepupu
laki-laki sebapak, dan seterusnya ke bawah).
Adapun 'ashabah
bil-ghair, mereka adalah setiap perempuan yang memerlukan orang
lain (yaitu laki-laki) untuk menjadikan mereka 'ashabah dan untuk bersama-sama
menerima 'ushubah. Ashabah bil-ghair terdiri dari empat
orang perempuan ashhabul-furudh yang bagian mereka 1/2
jika seorang diri dan 2/3 jika lebih dari seorang. Mereka itu adalah anak
perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan
sebapak. Keempat orang ini menjadi 'ashabah jika bersama-sama dengan
saudara laki-lakinya masing-masing yang sederajat, yaitu anak laki-laki, cucu
laki-laki, saudara laki-laki kandung, dan saudara laki-laki sebapak. Orang yang
menjadikan keempat perempuan ini 'ashabah bil-ghair disebut mu'ashshib.
Setiap pasangan ini, misalnya anak laki-laki dengan anak perempuan, mendapatkan
sisa harta setelah ashhabul-furudh dengan perbandingan bagian seorang
laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.
Sementara itu,
'ashabah ma'al-ghair adalah setiap perempuan yang
memerlukan orang lain (juga perempuan) untuk menjadikannya 'ashabah,
tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima 'ushubah (sisa). Mu'ashshib
(orang yang menjadikan 'ashabah) tetap menerima bagian menurut
fardh-nya sendiri. 'Ashabah ma'al-ghair hanya terdiri dari dua orang
perempuan dari ahli waris ashhabul-furudh, yaitu saudara perempuan
kandung dan saudara perempuan sebapak. Kedua orang ini menjadi 'ashabah
ma'al-ghair jika bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan,
tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada saudara
laki-lakinya, sebab kalau ada saudara laki-lakinya, mereka menjadi 'ashabah
bil-ghair.
Faraidh Islam
mengenal adanya hijab. Hijab adalah keadaan
terhalangnya seorang ahli waris untuk mendapatkan bagian dikarenakan adanya
ahli waris lain, sehingga ia kehilangan bagian sama sekali (disebut hijab
hirman), atau bagiannya menjadi berkurang (disebut hijab nuqshan).
Orang yang keberadaannya menyebabkan terhalangnya orang lain mendapatkan bagian
disebut hajib, sedangkan orang yang terhalang tersebut dinamakan mahjub.
Adapun ahli
waris yang tidak pernah mahjub berjumlah enam orang, yaitu anak laki-laki,
bapak, suami, anak perempuan, ibu, dan isteri. Artinya, keenam orang ini tidak
pernah terhalang oleh orang lain dalam menerima warisan. Ahli waris selain
keenam orang ini ada dua kemungkinan, dalam satu keadaan dapat menerima bagian,
tetapi dalam keadaan lain bisa menjadi mahjub.
Ahli waris laki-laki yang dapat menjadi mahjub adalah sebagai berikut:
1.
kakek terhalang
oleh bapak; saudara laki-laki kandung terhalang oleh bapak, anak laki-laki, dan
cucu laki-laki;
2.
saudara laki-laki
sebapak terhalang oleh saudara laki-laki kandung, penghalang saudara laki-laki
kandung, dan saudara perempuan kandung yang menjadi 'ashabah ma'al-ghair;
3.
saudara laki-laki seibu
terhalang oleh bapak, kakek, dan anak;
4.
cucu laki-laki
terhalang oleh anak laki-laki;
5.
keponakan laki-laki
kandung terhalang oleh saudara laki-laki sebapak dan semua penghalang
saudara laki-laki sebapak;
6.
keponakan laki-laki
sebapak terhalang oleh keponakan laki-laki kandung dan semua
penghalang keponakan laki-laki kandung;
7.
paman kandung
terhalang oleh keponakan laki-laki sebapak dan semua penghalang keponakan
laki-laki sebapak;
8.
paman sebapak
terhalang oleh paman kandung dan semua penghalang paman kandung;
9.
sepupu laki-laki kandung
terhalang oleh paman sebapak dan semua penghalang paman sebapak;
10. sepupu laki-laki sebapak terhalang oleh sepupu
laki-laki kandung dan semua penghalang sepupu laki-laki kandung.
Sementara itu, ahli waris perempuan yang dapat menjadi mahjub adalah sebagai berikut:
1.
nenek terhalang oleh ibu;
2.
cucu perempuan terhalang oleh anak
laki-laki, dan dua orang atau lebih anak perempuan;
3.
saudara perempuan kandung
terhalang oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki;
4.
saudara perempuan sebapak
terhalang oleh saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung yang
menjadi 'ashabah ma'al-ghair, dua saudara perempuan kandung atau lebih, dan
semua penghalang saudara perempuan kandung;
5.
saudara perempuan seibu terhalang
oleh bapak, kakek, dan anak.
Dalam praktek
pembagian warisan, ahli waris yang dijumpai umumnya hanya terdiri dari
golongan ashhabul-furudh dan 'ashabah.
Karena itu, pembahasan tulisan kali ini dicukupkan hanya sampai ahli waris dari
dua golongan ini. Selanjutnya, untuk memberikan gambaran penyelesaian masalah,
diberikan beberapa contoh kasus pembagian warisan yang hanya melibatkan ahli
waris dari kedua golongan ini.
Contoh
pertama, seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan isteri,
empat anak perempuan, tiga anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan
kandung. Maka
a)
isteri mendapat 1/8 (karena ada
anak),
b)
saudara perempuan kandung
terhalang oleh anak laki-laki,
c)
anak laki-laki dan perempuan
berbagi sisa (yaitu 7/8 setelah diambil isteri) dengan perbandingan 2:1. Jadi,
tiga anak laki-laki mendapat (3 x 2)/((3 x 2) + 4) x 7/8, yaitu 6/10 x 7/8 =
42/80, dan ini dibagi tiga sama rata. Sementara empat anak perempuan memperoleh
4/10 x 7/8 = 28/80, dan ini dibagi empat sama rata.
Contoh kedua, seorang perempuan wafat dengan meninggalkan suami, ibu, seorang anak perempuan, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka
a)
suami mendapat 1/4 (karena ada
anak),
b)
ibu mendapat 1/6 (karena ada
anak),
c)
anak perempuan mendapat 1/2
(karena seorang diri), dan
d)
sisanya, yaitu 1/12, menjadi
bagian saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
Di sini hanya
diberikan dua contoh kasus. Untuk pembahasan lebih rinci dan contoh yang lebih
banyak, pembaca disarankan mencari buku-buku tentang mawaris. Berdasarkan penelusuran
pustaka, dari sekitar belasan judul buku mawaris (sekarang sudah ada tambahan
buku yang lain lagi...) yang dimiliki penulis, buku Ilmu Waris karya Fatchur
Rahman merupakan referensi yang paling lengkap.
Dari
pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan.
1)
Enam macam bagian kepada ahli
waris ashhabul-furudh telah ditetapkan Allah SWT secara jelas dalam
Al-Qur'an dalam tiga ayat. Sementara ahli waris yang tidak disebutkan bagiannya
secara langsung dalam ketiga ayat itu, mendapat bagian sebagai 'ashabah.
2)
Dengan mengetahui bagian (fardh)
setiap ahli waris golongan ashhabul-furudh, kewarisan 'ashabah, dan
prinsip hijab yang ada dalam faraidh Islam, maka penyelesaian masalah pembagian
harta warisan akan menjadi mudah, cukup dengan menggunakan hitungan pecahan
sederhana.
Ilmu Faraidh: Metode Asal Masalah dalam Penghitungan Warisan
"…Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud dan dia menjawab, 'Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu, untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan (dari anak laki-laki) seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya untuk saudara perempuan.'"
(HR Bukhari)
Membagi harta
warisan menurut hukum Islam tidak terlalu rumit asalkan mengikuti kaidah
standar yang berlaku. Dalam prakteknya, penghitungan warisan umumnya hanya
melibatkan para ahli waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang
memiliki fardh atau bagian yang sudah tertentu) dan golongan 'ashabah
(ahli waris yang menerima sisa setelah ashhabul-furudh). Ahli waris golongan dzawil-arham
jarang sekali terlibat, karena selama masih ada ashhabul-furudh dan ashabah,
mereka tidak dapat menerima warisan. Dalam Al-Qur'an, fardh untuk ashhabul-furudh
ada enam macam, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Jika beberapa ahli
waris berkumpul, maka akan didapatkan kombinasi dari dua atau lebih pecahan di
antara keenam macam pecahan fardh.
Dalam membagi
warisan, ada dua metode penghitungan yang dapat digunakan, yaitu metode asal
masalah dan metode perbandingan. Pada tulisan ini, yang dibahas hanya metode
asal masalah. Metode asal masalah adalah cara menyelesaikan pembagian harta
warisan dengan mencari dan menetapkan asal masalah dari fardh masing-masing
ahli waris. Metode ini biasa digunakan oleh para ahli faraidh dalam
menyelesaikan masalah pembagian harta warisan.
Adapun
prosedur atau langkah penghitungan dengan metode asal masalah adalah sebagai
berikut.
Pertama,
menentukan bagian para ahli waris, baik yang menerima fardh tertentu maupun
yang menerima sisa.
Kedua,
menentukan asal masalah. Asal masalah adalah kelipatan persekutuan terkecil
(KPK) dari angka penyebut fardh para ahli waris. Misalnya, jika fardh-fardh
pada ashhabul furudh yang akan menerima warisan terdiri dari 1/2, 1/3, dan 1/6,
maka asal masalahnya adalah 6, yaitu KPK dari 2, 3, dan 6. Dengan melihat
kombinasi yang mungkin dari keenam macam fardh ahli waris golongan
ashhabul-furudh, maka asal masalah yang mungkin ada tujuh macam, yaitu 2, 3, 4,
6, 8, 12, dan 24. Dalam hal semua ahli waris dari golongan 'ashabah, maka asal
masalahnya dengan menghitung jumlah kepala; jika semuanya laki-laki ('ashabah
bin-nafsi), setiap orang dihitung memiliki satu kepala; jika gabungan laki-laki
dan perempuan ('ashabah bil-ghair), maka yang laki-laki dihitung dua kepala,
sedang yang perempuan dihitung satu kepala.
Ketiga, mencari saham yang harus diterima oleh masing-masing ahli waris dengan cara mengalikan fardh mereka masing-masing dengan asal masalah. Keempat, mencari nilai satu saham, yaitu dengan membagi harta peninggalan dengan asal masalah sehingga diketahui penerimaan masing-masing ahli waris.
Ketiga, mencari saham yang harus diterima oleh masing-masing ahli waris dengan cara mengalikan fardh mereka masing-masing dengan asal masalah. Keempat, mencari nilai satu saham, yaitu dengan membagi harta peninggalan dengan asal masalah sehingga diketahui penerimaan masing-masing ahli waris.
Sebelum
mencari nilai penerimaan para ahli waris, perlu dilihat dulu jumlah saham para
ahli waris. Jika jumlah saham sama dengan asal masalah, maka asal masalah
itulah yang digunakan untuk membagi harta. Akan tetapi, jika jumlah saham lebih
besar daripada asal masalah, maka asal masalah dinaikkan menjadi sebesar jumlah
saham. Sebaliknya, bila jumlah saham lebih kecil daripada asal masalah, maka
asal masalah harus diturunkan menjadi sebesar jumlah saham itu. Kedua kasus
terakhir ini masing-masing dinamakan 'aul dan radd. Masalah
'aul dan radd hanya terjadi jika tidak ada ahli waris 'ashabah. Untuk
memperjelas, berikut ini diberikan beberapa contoh kasus.
Contoh
pertama, seorang laki-laki wafat dengan meninggalkan isteri, anak
perempuan, ibu, dan cucu laki-laki (dari anak laki-laki). Harta peninggalannya
berupa uang Rp 120 juta. Maka, isteri memperoleh 1/8 (karena ada anak), anak
perempuan 1/2 (karena seorang diri), ibu 1/6 (karena ada anak), dan cucu
laki-laki sebagai 'ashabah bin-nafsi menerima sisa. Asal masalah adalah 24,
yaitu KPK dari 8, 2, dan 6. Saham untuk isteri adalah 1/8 x 24 = 3, untuk anak
perempuan 1/2 x 24 = 12, dan untuk ibu 1/6 x 24 = 4. Jadi ada sisa saham
sebesar 5 untuk cucu laki-laki. Dengan demikian, bagian untuk masing-masing
ahli waris adalah 3/24, 12/24, 4/24, dan 5/24. Karena itu, penerimaan bagi
masing-masing ahli waris adalah 15 juta, 60 juta, 20 juta, dan 25 juta.
Contoh
kedua, misalkan ahli waris terdiri dari bapak, ibu, 3 anak laki-laki, dan 2
anak perempuan. Jumlah harta peninggalan Rp 120 juta. Fardh untuk bapak dan ibu
masing-masing adalah 1/6 dan 1/6, sedangkan anak laki-laki dan anak perempuan
keduanya sebagai 'ashabah bil-ghair. Maka asal masalah adalah 6,
yaitu KPK dari 6 dan 6, sehingga bapak dan ibu masing-masing mendapat 1 saham.
Sisanya, 4 saham lagi dibagi kepada 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan
dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dalam hal ini, 3
anak laki-laki mendapat (3 x 2)/((3 x 2) + 2) = 6/8 dari 4 saham. Sementara
itu, 2 anak perempuan mendapat 2/((3 x 2) + 2) = 2/8 dari 4 saham. Jadi bagian
untuk bapak adalah 1/6, ibu 1/6, tiga anak laki-laki 6/8 x 4/6 = 24/48, dan dua
anak perempuan 2/8 x 4/6 = 8/48. Penerimaan untuk bapak dan ibu masing-masing
20 juta. Tiga anak laki-laki menerima 24/48 x 120 juta = 60 juta, sehingga
masing-masing menerima 20 juta. Sementara itu, dua anak perempuan menerima 8/48
x 120 juta = 20 juta, sehingga masing-masing menerima 10 juta.
Untuk
contoh ketiga, ahli waris terdiri dari suami, anak perempuan, cucu
perempuan, dan ibu. Harta yang ditinggalkan berupa uang Rp 156 juta. Fardh
untuk masing-masing ahli waris adalah 1/4, 1/2, 1/6, dan 1/6. Asal masalah
adalah 12, yaitu KPK dari 4, 2, 6, dan 6. Saham untuk
masing-masing ahli waris adalah 3, 6, 2, dan 2. Jumlah saham adalah 13. Di
sini, jumlah saham melebihi asal masalah sehingga terjadi 'aul. Karena itu,
asal masalah dinaikkan menjadi 13, sehingga bagian untuk masing-masing ahli
waris adalah 3/13, 6/13, 2/13, dan 2/13. Dan penerimaan harta masing-masing
ahli waris adalah bagian masing-masing dikalikan jumlah harta, yaitu 36 juta,
72 juta, 24 juta, dan 24 juta.
Berdasarkan
penelitian, asal masalah yang dapat berubah karena 'aul hanya tiga macam, yaitu
6, 12, dan 24. Asal masalah 6 dapat mengalami 'aul menjadi 7, 8, 9, dan 10.
Asal masalah 12 dapat mengalami 'aul menjadi 13, 15, dan 17. Sementara itu,
asal masalah 24 hanya mungkin mengalami 'aul menjadi 27. Sisanya, pada asal
masalah 2, 3, 4, dan 8, tidak dapat terjadi 'aul.
Untuk masalah radd,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Radd hanya terjadi jika ahli waris
hanya terdiri dari ahli waris golongan ashhabul-furudh, tidak ada ahli waris
golongan 'ashabah, dan jumlah saham lebih kecil daripada asal masalah. Ini
berarti bahwa ada kelebihan harta setelah para ashhabul-furudh menerima bagian
menurut fardh mereka masing-masing. Karena tidak ada 'ashabah, maka kelebihan
harta itu harus dikembalikan kepada ashhabul-furudh. Namun demikian, tidak
semua ashhabul-furudh dapat menerima radd (pengembalian kelebihan harta).
Menurut pendapat jumhur ulama, yang dapat menerima radd ada delapan macam,
yaitu ibu, nenek, anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung,
saudara perepuan sebapak, saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu.
Sementara itu, suami dan isteri – meskipun termasuk ashhabul-furudh – tidak
dapat menerima radd selama masih ada kedelapan orang itu.
Dengan
memperhatikan ada-tidaknya ahli waris yang tidak berhak menerima radd (yaitu
suami atau isteri), maka penghitungan warisan untuk kasus radd ada dua macam.
Untuk kasus
radd yang ahli warisnya tidak mencakup suami atau isteri, maka penghitungannya
lebih mudah. Sebagai contoh, ahli waris hanya terdiri dari anak perempuan dan
cucu perempuan (dari anak laki-laki). Harta warisan berupa tanah 80 ha. Fardh
masing-masing adalah 1/2 dan 1/6. Asal masalah adalah 6, yaitu KPK dari 2 dan
6. Saham mereka masing-masing 3 dan 1. Jumlah saham adalah 4. Karena jumlah
saham lebih kecil daripada asal masalah, maka asal masalah mengalami radd
menjadi 4. Dengan demikian, bagian masing-masing ahli waris adalah 3/4 dan 1/4.
Dan penerimaan masing-masing ahli waris adalah 60 ha dan 20 ha.
Adapun untuk
kasus radd yang melibatkan ahli waris suami atau isteri, maka setelah suami
atau isteri menerima bagian menurut fardh mereka, sisanya dibagi untuk ahli
waris ashhabul-furudh lain dengan menjumlahkan saham mereka untuk dijadikan
asal masalah baru dalam radd. Sebagai contoh, seorang laki-laki wafat dengan
meninggalkan isteri, 3 anak perempuan, dan ibu. Harta yang ditinggalkannya
adalah berupa uang Rp 48 juta. Dalam contoh ini, fardh masing-masing adalah
1/8, 2/3, dan 1/6. Asal masalahnya adalah 24, yaitu KPK dari 8, 3, dan 6. Saham
masing-masing adalah 3, 16, dan 4. Karena jumlah saham mereka 23, lebih kecil
daripada asal masalah 24, maka terjadi radd. Dalam hal ini, isteri tidak berhak
menerima radd, tetapi hanya berhak atas bagian sebesar 3/24, sehingga
penerimaannya 3/24 x Rp 48 juta = Rp 6 juta. Sisanya, Rp 42 juta lagi, dibagi
untuk 3 anak perempuan dan ibu. Karena radd, asal masalah yang baru sekarang
adalah sama dengan jumlah saham kedua ahli waris ini, yaitu 20. Dengan demikian,
bagian masing-masing adalah 16/20 dan 4/20, dan penerimaan harta untuk mereka
masing-masing Rp 33,6 juta dan Rp 8,4 juta.
Dari
pembahasan, dapat ditarik beberapa hal penting sebagai kesimpulan.
1.
Asal masalah ditentukan
berdasarkan fardh para ahli waris golongan ashhabul-furudh, atau berdasarkan
jumlah kepala jika semua ahli warisnya golongan 'ashabah.
2.
Jumlah saham menentukan terjadinya
'aul ataupun radd. Dengan adanya 'aul, maka nilai penerimaan harta warisan bagi
masing-masing ahli waris menjadi berkurang dari yang seharusnya diterima.
Sebaliknya, dalam masalah radd, semua ahli waris selain suami atau isteri
menerima bagian harta lebih besar daripada yang seharusnya mereka terima.
3.
Dengan menggunakan metode asal
masalah, segala bentuk masalah pembagian harta warisan dapat diselesaikan
dengan mudah dan benar.
Oleh: Achmad Yani,
S.T., M.Kom.
(Penulis adalah dosen
pada Politeknik Negeri Medan, dan pembuat software Sistem Pakar Faraidh Islam).
KEISTIMEWAAN HUKUM WARIS ISLAM: SEBUAH BUKTI KEMAHABIJAKSANAAN ALLAH
Achmad Yani, S.T., M.Kom.
achmad_yani_polmed@yahoo.co.id
achmad_yani_polmed@yahoo.co.id

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?” (Q.S. Al-Maidah: 50)
Allah telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam kehidupan mereka. Melalui kitab ini, Allah memberikan tuntunan dan aturan hukum dalam segala aspek kehidupan manusia sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk ciptaan-Nya. Secara umum, hukum yang mengatur kehidupan manusia itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah. Jika hukum ibadah mengatur hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah), maka hukum muamalah berurusan dengan hubungan antarsesama makhluk Allah, termasuk hubungan sesama manusia.
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Hukum yang berkaitan dengan hal ini disebut hukum waris atau hukum faraidh. Sebagai bagian dari hukum Islam, ternyata hukum waris Islam memiliki beberapa keistimewaan. Keistimewaan yang terdapat pada hukum ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang.
Dari sudut pandang sumber hukum, hukum waris Islam yang disebutkan di dalam Al-Qur'an memiliki keistimewaan tersendiri karena merupakan satu-satunya hukum yang dijelaskan dengan rinci seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama. Kalau aturan tentang syariat lain dalam Islam hanya disebutkan secara umum, maka aturan hukum waris dijelaskan langsung oleh Allah secara rinci dalam tiga ayat ini. Sebagai contoh, Allah memberikan perintah tentang shalat, tetapi Dia tidak menjelaskan secara rinci aturan-aturan dalam shalat. Hal ini berlaku untuk aturan puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
Hukum waris dalam pandangan Islam adalah sama pentingnya dengan beberapa rukun Islam yang lain. Hal ini bisa diperhatikan dari petikan ayat-ayat waris dalamsurat An-Nisa’. Warisan
merupakan “Bagian yang telah ditetapkan” (Q.S. An-Nisa’: 7). “Ini
adalah ketetapan dari Allah.” (Q.S. An-Nisa’: 11). “Syariat yang
benar-benar dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 12). “Itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah” (Q.S. An-Nisa’: 13). “Allah
mensyariatkan bagimu” (Q.S. An-Nisa’: 11). “Allah menerangkan (hukum
ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat.” (Q.S. An-Nisa’: 176). Hukum waris
adalah wajib, bukan sunnah. Warisan tidak
diserahkan pada pilihan dan kebebasan seseorang. Warisan merupakan wasiat
(syariat) dari Allah. Wasiat, apa pun bentuknya, dan siapa pun yang berwasiat,
wajib dilaksanakan. Apalagi ini, yang berwasiat adalah Allah SWT.
Jika dipahami dengan seksama, ketiga ayat waris ini menyebutkan bagian-bagian yang harus diterima masing-masing ahli waris dalam pembagian warisan sesuai dengan hubungan ahli waris dengan orang yang meninggal dunia. Pada ayat 11 dalam Surat An-Nisa', Allah menyebutkan bagian untuk anak (perempuan dan laki-laki) dan orang tua (ibu dan bapak) dari yang meninggal dengan menggunakan angka pecahan 1/2 (setengah), 2/3 (dua pertiga), 1/6 (seperenam), dan 1/3 (sepertiga). Sementara itu, ayat 12 menetapkan bagian warisan untuk suami dan isteri, yang mencakup angka pecahan 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), dan 1/8 (seperdelapan). Dalam ayat yang sama, juga dapat ditemukan angka pecahan 1/3 dan 1/6 sebagai bagian untuk saudara seibu (laki-laki maupun perempuan). Pada akhirsurat
An-Nisa', yaitu ayat 176, Allah memberikan ketentuan bagian untuk saudara
kandung atau sebapak dengan menyebutkan angka pecahan juga, yaitu 1/2 dan 2/3.
Dari ketiga ayat ini, diperoleh enam macam angka pecahan: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3,
1/3, dan 1/6. Secara matematis, keenam macam angka pecahan ini memiliki sifat
keunikan tersendiri karena memiliki hubungan satu sama lain. Tetapi pembahasan
tentang hal ini tidak dibahas dalam tulisan ini.
Sumber hukum lain untuk hukum waris Islam adalah hadits Nabi SAW. Hal-hal yang diatur dalam hadits antara lain ketentuan bagian untuk para ahli waris seperti nenek, kakek, cucu, paman, bibi, dan orang yang pernah membebaskan budak. Di samping itu, sumber hukum waris diambil dari ijma' dan ijtihad para sahabat Nabi SAW, para imam madzhab, dan mujtahid kenamaan. Sebagian besar ketentuan tentang pembagian warisan yang berasal dari Al-Qur'an, hadits, maupun ijma' dan ijtihad tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang berarti. Perbedaan hanya terdapat di sebagian kecil masalah yang memang belum dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun hadits pada saat masalah itu pertama sekali ditemukan, misalnya masalah kewarisan antara kakek bersama dengan saudara.
Keistimewaan hukum waris Islam juga dapat ditinjau dari sudut pandang sejarah. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam yang membawa serta di dalamnya aturan tentang hukum waris, memberikan perubahan dalam bentuk perbaikan terhadap hukum waris yang berlaku sebelumnya. Perbaikan ini ternyata membawa kemaslahatan (kebaikan) bagi semua pihak, di antaranya menghilangkan kezhaliman yang timbul dalam hal warisan. Sebagai contoh, pada masa jahiliyah (masa kebodohan pra-Islam pada masyarakat Arab), yang berhak atas harta warisan hanya anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak paman. Keempat macam ahli waris ini pun masih harus ditambah syarat: harus sudah dewasa. Jadi, perempuan dan anak-anak tidak berhak mendapat warisan meskipun mereka adalah keluarga dekat dari yang meninggal. Aturan ini kemudian dibatalkan oleh Allah melalui Al-Qur'an. Selanjutnya, Allah menetapkan orang-orang yang dapat menjadi ahli waris seperti telah disebutkan di depan.
Tentang keadilan, hukum waris Islam tidak perlu diragukan lagi. Hukum waris Islam tidak menerapkan diskriminasi dalam pembagian warisan. Warisan adalah untuk seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang mampu maupun yang tidak mampu, yang taat kepada Allah maupun yang gemar bermaksiat kepada-Nya. Warisan diberikan kepada seluruh ahli waris, baik ashhabul-furudh (golongan ahli waris yang memperoleh bagian tertentu) maupun ‘ashabah (golongan ahli waris yang memperoleh bagian sisa setelah ashhabul-furudh). Laki-laki dan perempuan – bahkan banci – masing-masing berhak atas warisan yang besarnya sesuai dengan kedudukan mereka dalam susunan ahli waris. Bayi dalam kandungan pun memiliki hak yang sama dengan orang dewasa dalam hal warisan. Juga, anak sulung dan anak bungsu tidak boleh dibedakan dalam hal kewarisan. Bahkan, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata Allah mengangkat derajat wanita -- yang sebelum ayat-ayat waris diturunkan telah dilecehkan -- melalui hukum waris. Isteri, anak perempuan, cucu perempuan, ibu, nenek, dan saudara perempuan, sudah ditetapkan bagian tertentu seperti disebutkan dalam ayat-ayat waris utama di depan. Hal ini merupakan keistimewaan tersendiri hukum waris Islam yang tidak dimiliki hukum waris lain buatan manusia. Sisi lain dari keadilan yang dimiliki hukum waris Islam adalah bahwa setiap ahli waris memiliki bagian secara proporsional menurut hubungan mereka dengan yang meninggal, bukan semata mendapat bagian secara sama-rata di antara seluruh ahli waris tanpa syarat.
Dalam hukum waris Islam, seseorang menjadi ahli waris dari yang meninggal hanya karena adanya hubungan yang jelas: hubungan nasab (hubungan darah, kerabat), hubungan nikah (suami atau isteri), dan hubungan wala' (pembebasan budak). Di luar ini tidak dimungkinkan menjadi ahli waris, misalnya anak angkat, anak tiri, mertua, menantu, ipar, orang yang mengadakan ikatan sumpah-setia. Sebaliknya, seseorang yang memiliki syarat sebagai ahli waris menjadi batal menerima warisan (diharamkan menerima warisan) karena tiga hal: berbeda agama, melakukan pembunuhan, dan berstatus sebagai budak.
Selanjutnya, hukum waris Islam tidak mengistimewakan pemberian warisan kepada satu orang atau satu kelompok ahli waris saja. Sebagai contoh, dalam kasus ada beberapa anak sebagai ahli waris, tidak ada dasarnya dalam hukum waris Islam memberikan warisan hanya kepada anak sulung atau bungsu, atau hanya kepada anak laki-laki, atau hanya kepada anak yang rajin bekerja, atau hanya kepada anak yang mengikuti jejak langkah orang tua. Akan tetapi, anak-anak itu harus diberikan bagian yang sama karena mereka sama statusnya. Ini mengandung makna bahwa hukum waris Islam tidak membeda-bedakan ahli waris yang memiliki kedudukan (status) yang sama dalam daftar ahli waris dan tidak mendasarkan pembagian warisan menurut perasaan manusia, tetapi hukum ini mutlak merupakan ketetapan dari Allah yang tidak dapat diganggu-gugat. Dengan demikian, kemaslahatan yang timbul dari hukum Allah ini sepenuhnya merupakan wujud dari kehendak Allah atas manusia.
Berkaitan dengan wasiat harta, Islam membatasi wasiat dalam hal orang yang dituju dan dalam hal besarnya wasiat. Seseorang yang masih hidup tidak diizinkan untuk memberikan wasiat kepada ahli waris yang mendapat bagian warisan, tetapi dibolehkan untuk berwasiat kepada orang di luar ahli waris yang menerima bagian warisan. Banyaknya harta yang diizinkan untuk diwasiatkan pun dibatasi hanya sampai sepertiga bagian dari seluruh harta, karena wasiat melebihi jumlah sepertiga akan menzhalimi (merugikan) para ahli waris yang berhak atas harta warisan itu sehingga harus atas izin seluruh ahli waris. “Sepertiga itu sudah banyak,” demikian sabda Nabi SAW. Hal ini berbeda dengan hukum waris buatan manusia yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemberi wasiat dalam berwasiat harta.
Keistimewaan lain dari hukum waris Islam adalah adanya asas ijbari, yang mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari yang meninggal atau permintaan dari ahli warisnya. Dengan kata lain, ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan Allah. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) yang menetapkan bahwa peralihan harta tergantung pada kemauan yang meninggal serta kemauan dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya. Dengan ketentuan pemindahan harta secara paksa oleh Allah SWT, maka tidak ada ahli waris yang berhak membagi harta waris menurut kemauan masing-masing. Hal ini tentu jelas akan menghindarkan adanya penguasaan harta oleh seorang atau sekelompok ahli waris atas ahli waris yang lain.
Dalam sejarah kehidupan manusia, sudah banyak sekali perselisihan yang berujung pada pertumpahan darah yang diakibatkan oleh perebutan harta warisan. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi orang mukmin -- orang yang beriman kepada Allah dan dengan semua hukum-Nya --– kecuali mengikuti hukum yang telah jelas disiapkan oleh Allah untuk manusia, karena hukum ciptaan Allah bagi manusia itu sudah pasti sesuai dengan fitrah manusia sebagai ciptaan Allah.
Dengan memperhatikan berbagai keistimewaan yang telah dikemukakan di depan, nyatalah bahwa dari sudut pandang mana pun, hukum waris Islam sebagai ketentuan langsung dari Allah SWT tetap yang unggul. Hal ini dapat dipahami karena Allah SWT Yang Maha Pencipta, yang menciptakan manusia, sekaligus Maha Mengetahui atas tabiat dasar nafsu manusia yang memerlukan harta dan cenderung mengumpulkan dan menguasai harta. Jika peralihan harta dari yang meninggal kepada ahli waris ditetapkan oleh manusia melalui hukum buatan mereka sendiri, maka nafsu manusia -- tidak dapat dihindarkan -- akan mempengaruhi dan mewarnai aturan hukum yang mereka buat itu. Di sinilah hikmah penetapan hukum waris langsung oleh Allah SWT. Inilah sebuah bukti kemahabijaksanaan Allah SWT. Wallahu a’lamu bishshawab.
Allah telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam kehidupan mereka. Melalui kitab ini, Allah memberikan tuntunan dan aturan hukum dalam segala aspek kehidupan manusia sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk ciptaan-Nya. Secara umum, hukum yang mengatur kehidupan manusia itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah. Jika hukum ibadah mengatur hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah), maka hukum muamalah berurusan dengan hubungan antarsesama makhluk Allah, termasuk hubungan sesama manusia.
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Hukum yang berkaitan dengan hal ini disebut hukum waris atau hukum faraidh. Sebagai bagian dari hukum Islam, ternyata hukum waris Islam memiliki beberapa keistimewaan. Keistimewaan yang terdapat pada hukum ini dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang.
Dari sudut pandang sumber hukum, hukum waris Islam yang disebutkan di dalam Al-Qur'an memiliki keistimewaan tersendiri karena merupakan satu-satunya hukum yang dijelaskan dengan rinci seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama. Kalau aturan tentang syariat lain dalam Islam hanya disebutkan secara umum, maka aturan hukum waris dijelaskan langsung oleh Allah secara rinci dalam tiga ayat ini. Sebagai contoh, Allah memberikan perintah tentang shalat, tetapi Dia tidak menjelaskan secara rinci aturan-aturan dalam shalat. Hal ini berlaku untuk aturan puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
Hukum waris dalam pandangan Islam adalah sama pentingnya dengan beberapa rukun Islam yang lain. Hal ini bisa diperhatikan dari petikan ayat-ayat waris dalam
Jika dipahami dengan seksama, ketiga ayat waris ini menyebutkan bagian-bagian yang harus diterima masing-masing ahli waris dalam pembagian warisan sesuai dengan hubungan ahli waris dengan orang yang meninggal dunia. Pada ayat 11 dalam Surat An-Nisa', Allah menyebutkan bagian untuk anak (perempuan dan laki-laki) dan orang tua (ibu dan bapak) dari yang meninggal dengan menggunakan angka pecahan 1/2 (setengah), 2/3 (dua pertiga), 1/6 (seperenam), dan 1/3 (sepertiga). Sementara itu, ayat 12 menetapkan bagian warisan untuk suami dan isteri, yang mencakup angka pecahan 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), dan 1/8 (seperdelapan). Dalam ayat yang sama, juga dapat ditemukan angka pecahan 1/3 dan 1/6 sebagai bagian untuk saudara seibu (laki-laki maupun perempuan). Pada akhir
Sumber hukum lain untuk hukum waris Islam adalah hadits Nabi SAW. Hal-hal yang diatur dalam hadits antara lain ketentuan bagian untuk para ahli waris seperti nenek, kakek, cucu, paman, bibi, dan orang yang pernah membebaskan budak. Di samping itu, sumber hukum waris diambil dari ijma' dan ijtihad para sahabat Nabi SAW, para imam madzhab, dan mujtahid kenamaan. Sebagian besar ketentuan tentang pembagian warisan yang berasal dari Al-Qur'an, hadits, maupun ijma' dan ijtihad tidak menimbulkan perbedaan pendapat yang berarti. Perbedaan hanya terdapat di sebagian kecil masalah yang memang belum dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun hadits pada saat masalah itu pertama sekali ditemukan, misalnya masalah kewarisan antara kakek bersama dengan saudara.
Keistimewaan hukum waris Islam juga dapat ditinjau dari sudut pandang sejarah. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam yang membawa serta di dalamnya aturan tentang hukum waris, memberikan perubahan dalam bentuk perbaikan terhadap hukum waris yang berlaku sebelumnya. Perbaikan ini ternyata membawa kemaslahatan (kebaikan) bagi semua pihak, di antaranya menghilangkan kezhaliman yang timbul dalam hal warisan. Sebagai contoh, pada masa jahiliyah (masa kebodohan pra-Islam pada masyarakat Arab), yang berhak atas harta warisan hanya anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak paman. Keempat macam ahli waris ini pun masih harus ditambah syarat: harus sudah dewasa. Jadi, perempuan dan anak-anak tidak berhak mendapat warisan meskipun mereka adalah keluarga dekat dari yang meninggal. Aturan ini kemudian dibatalkan oleh Allah melalui Al-Qur'an. Selanjutnya, Allah menetapkan orang-orang yang dapat menjadi ahli waris seperti telah disebutkan di depan.
Tentang keadilan, hukum waris Islam tidak perlu diragukan lagi. Hukum waris Islam tidak menerapkan diskriminasi dalam pembagian warisan. Warisan adalah untuk seluruh ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang mampu maupun yang tidak mampu, yang taat kepada Allah maupun yang gemar bermaksiat kepada-Nya. Warisan diberikan kepada seluruh ahli waris, baik ashhabul-furudh (golongan ahli waris yang memperoleh bagian tertentu) maupun ‘ashabah (golongan ahli waris yang memperoleh bagian sisa setelah ashhabul-furudh). Laki-laki dan perempuan – bahkan banci – masing-masing berhak atas warisan yang besarnya sesuai dengan kedudukan mereka dalam susunan ahli waris. Bayi dalam kandungan pun memiliki hak yang sama dengan orang dewasa dalam hal warisan. Juga, anak sulung dan anak bungsu tidak boleh dibedakan dalam hal kewarisan. Bahkan, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata Allah mengangkat derajat wanita -- yang sebelum ayat-ayat waris diturunkan telah dilecehkan -- melalui hukum waris. Isteri, anak perempuan, cucu perempuan, ibu, nenek, dan saudara perempuan, sudah ditetapkan bagian tertentu seperti disebutkan dalam ayat-ayat waris utama di depan. Hal ini merupakan keistimewaan tersendiri hukum waris Islam yang tidak dimiliki hukum waris lain buatan manusia. Sisi lain dari keadilan yang dimiliki hukum waris Islam adalah bahwa setiap ahli waris memiliki bagian secara proporsional menurut hubungan mereka dengan yang meninggal, bukan semata mendapat bagian secara sama-rata di antara seluruh ahli waris tanpa syarat.
Dalam hukum waris Islam, seseorang menjadi ahli waris dari yang meninggal hanya karena adanya hubungan yang jelas: hubungan nasab (hubungan darah, kerabat), hubungan nikah (suami atau isteri), dan hubungan wala' (pembebasan budak). Di luar ini tidak dimungkinkan menjadi ahli waris, misalnya anak angkat, anak tiri, mertua, menantu, ipar, orang yang mengadakan ikatan sumpah-setia. Sebaliknya, seseorang yang memiliki syarat sebagai ahli waris menjadi batal menerima warisan (diharamkan menerima warisan) karena tiga hal: berbeda agama, melakukan pembunuhan, dan berstatus sebagai budak.
Selanjutnya, hukum waris Islam tidak mengistimewakan pemberian warisan kepada satu orang atau satu kelompok ahli waris saja. Sebagai contoh, dalam kasus ada beberapa anak sebagai ahli waris, tidak ada dasarnya dalam hukum waris Islam memberikan warisan hanya kepada anak sulung atau bungsu, atau hanya kepada anak laki-laki, atau hanya kepada anak yang rajin bekerja, atau hanya kepada anak yang mengikuti jejak langkah orang tua. Akan tetapi, anak-anak itu harus diberikan bagian yang sama karena mereka sama statusnya. Ini mengandung makna bahwa hukum waris Islam tidak membeda-bedakan ahli waris yang memiliki kedudukan (status) yang sama dalam daftar ahli waris dan tidak mendasarkan pembagian warisan menurut perasaan manusia, tetapi hukum ini mutlak merupakan ketetapan dari Allah yang tidak dapat diganggu-gugat. Dengan demikian, kemaslahatan yang timbul dari hukum Allah ini sepenuhnya merupakan wujud dari kehendak Allah atas manusia.
Berkaitan dengan wasiat harta, Islam membatasi wasiat dalam hal orang yang dituju dan dalam hal besarnya wasiat. Seseorang yang masih hidup tidak diizinkan untuk memberikan wasiat kepada ahli waris yang mendapat bagian warisan, tetapi dibolehkan untuk berwasiat kepada orang di luar ahli waris yang menerima bagian warisan. Banyaknya harta yang diizinkan untuk diwasiatkan pun dibatasi hanya sampai sepertiga bagian dari seluruh harta, karena wasiat melebihi jumlah sepertiga akan menzhalimi (merugikan) para ahli waris yang berhak atas harta warisan itu sehingga harus atas izin seluruh ahli waris. “Sepertiga itu sudah banyak,” demikian sabda Nabi SAW. Hal ini berbeda dengan hukum waris buatan manusia yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemberi wasiat dalam berwasiat harta.
Keistimewaan lain dari hukum waris Islam adalah adanya asas ijbari, yang mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari yang meninggal atau permintaan dari ahli warisnya. Dengan kata lain, ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpindahan harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan Allah. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Hukum Perdata (BW) yang menetapkan bahwa peralihan harta tergantung pada kemauan yang meninggal serta kemauan dan kerelaan ahli waris yang akan menerima, tidak berlaku dengan sendirinya. Dengan ketentuan pemindahan harta secara paksa oleh Allah SWT, maka tidak ada ahli waris yang berhak membagi harta waris menurut kemauan masing-masing. Hal ini tentu jelas akan menghindarkan adanya penguasaan harta oleh seorang atau sekelompok ahli waris atas ahli waris yang lain.
Dalam sejarah kehidupan manusia, sudah banyak sekali perselisihan yang berujung pada pertumpahan darah yang diakibatkan oleh perebutan harta warisan. Karena itu, tidak ada jalan lain bagi orang mukmin -- orang yang beriman kepada Allah dan dengan semua hukum-Nya --– kecuali mengikuti hukum yang telah jelas disiapkan oleh Allah untuk manusia, karena hukum ciptaan Allah bagi manusia itu sudah pasti sesuai dengan fitrah manusia sebagai ciptaan Allah.
Dengan memperhatikan berbagai keistimewaan yang telah dikemukakan di depan, nyatalah bahwa dari sudut pandang mana pun, hukum waris Islam sebagai ketentuan langsung dari Allah SWT tetap yang unggul. Hal ini dapat dipahami karena Allah SWT Yang Maha Pencipta, yang menciptakan manusia, sekaligus Maha Mengetahui atas tabiat dasar nafsu manusia yang memerlukan harta dan cenderung mengumpulkan dan menguasai harta. Jika peralihan harta dari yang meninggal kepada ahli waris ditetapkan oleh manusia melalui hukum buatan mereka sendiri, maka nafsu manusia -- tidak dapat dihindarkan -- akan mempengaruhi dan mewarnai aturan hukum yang mereka buat itu. Di sinilah hikmah penetapan hukum waris langsung oleh Allah SWT. Inilah sebuah bukti kemahabijaksanaan Allah SWT. Wallahu a’lamu bishshawab.
EMPAT BELAS MACAM ALASAN TIDAK DIJALANKANNYA HUKUM FARAIDH DI INDONESIA
Achmad
Yani, S.T., M.Kom.
achmad.yani.polmed@gmail.com
achmad.yani.polmed@gmail.com

Ayat di atas memberitahukan kepada kita bahwa harta dan anak-anak menghiasi kehidupan manusia di dunia. Tetapi, perhiasan ini hanya dijadikan indah dan kesenangan bagi manusia semasa hidup di dunia. Dan tempat kesenangan yang sebenarnya adalah surga.

Sementara itu, bagi orang-orang yang beriman, justru harta dan anak-anak tidak boleh menjadikan mereka lalai dari mengingat Allah.

Harta adalah kebutuhan dan kesenangan manusia. Karena merupakan kebutuhan dan juga kesenangan, maka manusia berusaha dengan gigih untuk mendapatkannya. Harta diperoleh oleh seseorang dengan berbagai macam cara.
1.
2.
3. Harta dapat juga diperoleh dari hadiah atau hibah, yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa ada ikatan atau sebab yang mewajibkan.
4. Cara lain perolehan harta adalah dari zakat, baik zakat fitrah maupun zakat harta.
5.
6. Terakhir, dan yang paling istimewa, ada juga harta yang diperoleh bukan dengan jalan usaha maupun pemberian orang lain, tetapi terpaksa diterima karena langsung ditetapkan pemberiannya oleh Allah melalui jalan pembagian warisan dari orang yang meninggal dunia. Cara ini didapatkan oleh ahli waris.
Pembagian harta warisan sudah diatur oleh Allah langsung di dalam Al-Qur’an dan dilengkapi serta dijelaskan dengan beberapa hadits Nabi SAW, antara lain tentang ahli waris yang berhak, dan bagian masing-masing ahli waris. Meskipun demikian, dalam masalah pembagian ini terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaannya belum atau tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pelaksanaan pembagian harta warisan di antara umat Islam masih belum mengikuti hukum waris Islam.
Adapun di antara beberapa alasan belum atau tidak dilaksanakannya pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengetahui ilmunya
Ilmu tentang pembagian harta warisan, yang disebut juga ilmu faraidh, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, merupakan ilmu yang sangat sedikit orang yang mengetahuinya. Bahkan ilmu ini merupakan ilmu yang pertama kali akan diangkat (dicabut) dari bumi ini oleh Allah dengan cara dimatikan-Nya para ulama yang mengerti ilmu ini satu demi satu pada akhir zaman.
2. Masih mengutamakan (mendahulukan) adat-istiadat yang berlaku di masyarakat daripada aturan syariat Islam
Dalam pelaksanaannya, pembagian harta warisan masih kental dengan pengaruh adat-istiadat yang berlaku di daerah masing-masing. Sebagai contoh, untuk kasus di
3. Takut bagiannya sedikit atau tidak mendapat bagian sama sekali
Kecintaan dan ketamakan pada harta mendorong manusia untuk berusaha mendapatkannya dengan sekuat tenaga meskipun kadangkala membuat mereka melakukan perbuatan yang melanggar aturan syariat. Sebagian ahli waris ada yang, karena telah mengetahui bagiannya dari harta warisan jika dibagi menurut hukum faraidh Islam menjadi sedikit atau tidak mendapat bagian sama sekali, berusaha untuk tidak menjalankan pembagian menurut hukum waris Islam. Sebagai gantinya, mereka melakukan pembagian warisan menurut cara mereka sendiri agar mereka mendapat bagian, atau bagian mereka menjadi lebih banyak.
4. Tidak mau repot
Dalam kenyataannya di masyarakat, kebanyakan orang Islam tidak mau membagi warisan menurut syariat Islam karena mereka tidak mau repot atau susah. Mereka menganggap hukum waris Islam rumit kalau diterapkan sehingga mereka menggunakan cara pembagian yang mudah, mislnya dengan musyawarah keluarga; yang penting, harta warisan dibagikan kepada orang-orang yang menjadi ahli waris.
5. Menganggap ilmu faraidh sebagai ilmu yang sangat sulit dipelajari dan dilaksanakan
Karena belum mempelajari atau tidak mau mempelajari ilmu faraidh, maka kebanyakan orang Islam menganggap ilmu faraidh sulit dipelajari apalagi dilaksanakan. Anggapan seperti ini sudah menjadi kecenderungan di dalam sebagian besar orang Islam yang awam.
6. Merasa hukum waris Islam tidak adil
Sebagian kalangan menganggap bahwa hukum waris Islam tidak layak diterapkan karena merasa hukum ini tidak adil. Salah satu hal yang melandasi anggapan ini adalah masalah gender, misalnya mereka tidak puas karena bagian anak perempuan hanya setengah dari bagian anak laki-laki. Anggapan dan tuduhan ini muncul karena adanya pemahaman yang salah terhadap hukum waris Islam, dan ini banyak dilontarkan oleh kalangan yang benci dengan syariat Islam, baik dari kalangan orientalis maupun orang-orang munafik.
7. Menganggap hukum waris Islam tidak kuat dan tidak mengikat bagi umat Islam
Sama halnya dengan yang merasa hukum waris Islam tidak adil, mereka juga menganggap hukum waris Islam tidak kuat dan tidak mengikat bagi umat Islam. Kelompok yang memiliki anggapan ini umumnya lebih mengutamakan akal (rasio) dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits.
8. Hukum waris Islam belum dituangkan sebagai hukum positif dalam bentuk Undang-Undang
Belum adanya peraturan dalam bentuk Undang-Undang yang diberlakukan di negara kita, juga menjadi salah satu alasan bagi umat Islam di Indonesia untuk tidak mau menjalankan pembagian warisan menurut hukum waris Islam. Umumnya mereka berpendapat bahwa hukum waris Islam baru bisa dilaksanakan jika sudah menjadi hukum positif, sama seperti Undang-Undang yang lain.
9. Adanya beberapa perbedaan pendapat ulama dalam masalah pembagian harta warisan
Perbedaan madzhab dalam masalah warisan juga sering dijadikan alasan orang untuk tidak mau menjalankan hukum waris Islam karena mereka menganggap tidak ada kesatuan aturan yang menjadi pedoman. Hal ini sebenarnya hanya merupakan alasan orang-orang yang tidak memiliki pendirian dan selalu ragu-ragu dalam menjalankan syariat Islam.
10. Menganggap hukum waris Islam hanya fatwa para ulama
Anggapan ini hanya dilontarkan oleh sebagian orang karena ketidaktahuan, dan keengganan mereka untuk belajar ilmu faraidh. Umumnya orang-orang awam berpendapat seperti ini.
11. Menganggap bahwa yang memiliki harta memiliki hak mutlak untuk membagi warisannya kepada para ahli waris ketika masih hidup
Karena merasa bahwa harta yang dimiliki merupakan hak mutlak yang diperoleh dari hasil usaha dan jerih payahnya sendiri, banyak orang yang membagikan hartanya sebagai warisan ketika mereka masih hidup kepada para ahli warisnya dengan cara pembagian sendiri yang mereka anggap sudah adil menurut mereka tanpa memperhatikan hukum waris Islam.
12. Menganggap bahwa pembagian warisan cukup dibagi dengan cara pemberian wasiat saja
Sebagian orang membagi warisan dengan cara memberi wasiat kepada calon ahli warisnya ketika mereka masih hidup untuk dibagikan setelah mereka wafat. Mereka menganggap itulah pembagian yang benar tanpa mengindahkan aturan-atuan pembagian warisan menurut syariat Islam.
13. Menganggap bahwa pembagian warisan sudah adil jika dibagi secara sama rata di antara semua ahli waris
Sebagian orang memiliki prinsip sama-rata sama-rasa, dan hal itu juga mereka terapkan dalam pembagian harta warisan. Semua ahli waris diberikan bagian yang sama besar tanpa memandang kedudukan masing-masing di dalam susunan ahli waris. Mereka menganggap itulah keadilan yang sesungguhnya.
14. Belum adanya lembaga yang berwenang mutlak mengurus dan mengatur pembagian harta warisan di antara umat Islam
Benar bahwa di negara kita belum ada lembaga khusus yang berwenang mutlak mengurus dan mengatur pembagian harta warisan di antara umat Islam. Tetapi hal ini justru dijadikan alasan sebagian orang untuk tidak menjalankan pembagian warisan sesuai dengan hukum waris Islam.
Demikianlah di antara sekian alasan yang melatarbelakangi belum adanya kesadaran umat Islam, terutama di
HUKUM WARIS ISLAM MENGANGKAT DERAJAT WANITA
Oleh Achmad Yani, S.T., M.Kom.
achmad.yani.polmed@gmail.com
http://www.achmad-yani.co.cc/
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu."
(Q.S. An-Nahl: 58-59).
SEJARAH membuktikan bahwa perlakuan terhadap wanita – sebelum Islam datang – sangat tidak manusiawi. Umar RA pernah mengatakan, "Demi Allah, pada zaman jahilliyah di mata kami wanita itu bukan apa-apa, sampai akhirnya Allah menurunkan apa yang harus Dia turunkan tentang mereka dan membagikan apa yang harus Dia bagikan untuk mereka."
Pada zaman jahiliyah dahulu, wanita tidak memiliki hak waris karena wanita tidak mampu mengangkat senjata dan membawa tameng. Seorang wanita pada masa itu tidak memiliki hak apa pun terhadap suaminya. Sebaliknya, seorang laki-laki berhak menceraikan isterinya lalu merujuknya kembali, dan menceraikannya lagi, dan merujuknya lagi. Begitu seterusnya tanpa ada batasan, dan itu dapat dilakukan kapan saja laki-laki itu mau. Seorang laki-laki pada waktu itu juga berhak melakukan poligami dalam jumlah berapa saja yang diinginkannya. Kemudian, jika ada seorang laki-laki wafat dengan meninggalkan seorang isteri dan beberapa anak laki-laki yang bukan anak isterinya tadi, maka anak yang paling tua berhak mendapatkan isteri mendiang ayahnya itu (ibu tirinya). Dia menganggap ibu tirinya itu sebagai harta warisan mendiang ayahnya sebagaimana harta-hartanya yang lain. Apabila dia berminat mengambil ibu tirinya itu sebagai isterinya sendiri, maka dia cukup hanya melemparkan sepotong pakaian kepadanya. Maka resmilah mereka berdua sebagai suami isteri. Namun, apabila ternyata dia tidak berminat, dia bisa mengawinkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Keadaan ini, setelah Islam datang, dibatalkan oleh Allah dengan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa: 19)
Bahkan di kala itu ada makanan yang hanya khusus bagi laki-laki dan haram bagi wanita. Perbuatan buruk mereka dapat dibuktikan dalam ayat berikut, "Dan mereka mengatakan, 'Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui" (Al-An'am: 139).
Dan masih banyak lagi kebiasaan buruk yang berlaku di tengah-tengah masyarakat jahiliyah dahulu kalau mau disebutkan satu per satu. Tulisan ini bukan untuk membahas semuanya itu, tetapi meninjau bagaimana Allah, melalui hukum waris yang ditetapkan-Nya, mengangkat derajat wanita.
Wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang sama. Dalam hukum Islam, wanita diletakkan dalam kerangka yang sama dengan pria. Apabila pria dapat melakukan muamalah, seperti berjual beli, memberikan kesaksian dan menuntut di pengadilan, demikian pula wanita. Namun bukan berarti Islam memberikan kepada wanita kedudukan yang sama persis dengan kedudukan pria. Islam secara jujur dan bertanggung jawab tetap meletakkan dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang bijaksana antara pria dan wanita. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam hak warisan, talak dan kesaksian di pengadilan.
Dalam masalah warisan, Allah tidak melakukan diskriminasi kepada wanita dalam menerima bagian. "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (Q.S. An-Nisa`: 7). Ayat ini turun berkenaan dengan Aus bin Tsabit Al-Anshari RA yang wafat meninggalkan seorang isteri bernama Ummu Kajah dan tiga anak perempuan. Selain itu, ada dua sepupu laki-laki si mayit dari pihak ayah, masing-masing Suwaid dan 'Arfajah. Keduanya mengambil harta peninggalan Aus dan tidak memberikan sedikit pun kepada isteri Aus dan anak-anaknya. Ummu Kajah mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau memanggil kedua laki-laki tadi. Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, anak Ummu Kajah tidak bisa mengendarai kuda, tidak mampu menanggung beban yang berat, dan tidak kuat memerangi musuh."
Rasulullah SAW menjawab, "Pergilah dulu sehingga saya mendapatkan keputusan dari Allah mengenai mereka (isteri dan anak-anak Aus)." Kemudian Allah menurunkan ayat di atas (An-Nisa: 7) sebagai jawaban terhadap kedua laki-laki itu, dan menyalahkan pendapat dan sikap mereka. Seharusnya ahli waris yang masih kecil lebih berhak terhadap warisan daripada orang dewasa karena mereka belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan mencari penghidupan. Mereka yang merampas hak anak-anak kecil (yatim) telah membalikkan hukum, tidak mempedulikan hikmah dan tersesat karena mengikuti hawa nafsu.
Setelah menerima ayat tersebut, Nabi SAW mengirimsurat kepada Suwaid dan 'Arfajah yang isinya
memerintahkan agar mereka tidak membagi dulu harta warisan Aus karena Allah
telah menentukan hak-hak anak-anak perempuan Aus untuk memperoleh bagian
warisan. Namun, belum dijelaskan berapa besarnya hingga Allah menurunkan
ayat-ayat yang merinci bagian masing-masing ahli waris dalam Surat An-Nisa`:
11, 12, dan 176. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada kedua laki-laki itu di
dalam surat
beliau, "Hendaknya kalian berdua memberikan kepada Ummu Kajah 1/8 dari
harta warisan suaminya, untuk anak perempuannya sebesar 2/3 bagian, dan untuk
kalian sisa harta itu."
Dalam riwayat Jabir RA dijelaskan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah karena isteri Sa'ad bin Rabi' RA mengadukan suatu perkara kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, ini adalah kedua anak perempuan Sa'ad bin Rabi' RA. Sa'ad ikut dengan Engkau dalam perang Uhud dan syahid disana . Paman mereka berdua tela mengambil
harta peninggalan Sa'ad dan tidak meninggalkan sedikit pun untuk mereka.
Padahal, mereka berdua hanya dapat menikah dengan harta itu."
Rasulullah SAW bersabda, "Allah akan memutuskan perkara ini."
Kemudian turunlah ayat mengenai warisan. Lalu Rasulullah SAW berkata kepada
saudara Sa'ad yang telah menguasai harta warisan Sa'ad, "Berikanlah
kepada kedua anak perempuan Sa'ad sebanyak 2/3 bagian, ibu mereka (isteri
Sa'ad) sebesar 1/8 bagian, sedangkan Engkau mendapat sisanya."
Kedua kisah ini menjadi sebagian dari bukti bahwa Allah telah menghapuskan adat jahiliyah yang telah menyisihkan wanita dalam menerima bagian warisan. Bahkan Allah telah memberikan bagian kepada wanita yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan si mayit – baik hubungan nasab maupun hubungan nikah – dengan bagian-bagian yang sudah tertentu. Dalam istilah hukum waris Islam, mereka ini termasuk golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang memiliki bagian yang sudah tertentu/pasti/jelas). Mereka – para wanita – yang dimaksud ini adalah anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak bapak, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, dan isteri.
Surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176 menjelaskan pembagian warisan kepada ahli waris yang sebagian besar wanita dengan rinci. Selaku anak perempuan, ia akan mendapatkan 1/2 jika sendiri, atau 2/3 jika lebih dari seorang. Hal yang sama berlaku untuk cucu perempuan jika tidak ada anak perempuan. Selaku ibu, ia bisa mendapatkan 1/6 jika si mayit memiliki anak atau saudara dua orang atau lebih, atau 1/3 dalam kondisi selain itu; kecuali dalam hal ahli waris hanya bapak, ibu, dan salah seorang suami atau isteri, maka ibu mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikan kepada suami atau isteri. Selaku nenek, bagiannya adalah 1/6 jika tidak ada ibu. Selaku saudara perempuan kandung, ia akan mendapatkan 1/2 jika sendiri, atau 2/3 jika lebih dari seorang. Hal yang sama berlaku untuk saudara perempuan sebapak jika tidak ada saudara perempuan kandung. Selaku saudara perempuan seibu, bagiannya dalah 1/6 jika sendiri, atau 1/3 jika lebih dari seorang, tanpa memandang apakah mereka laki-laki atau perempuan. Dan selaku isteri, bagiannya 1/8 jika si mayit memiliki anak, atau 1/4 jika tidak mempunyai anak.
Jika anak perempuan dari si mayit bersama-sama dengan saudara laki-lakinya (yaitu anak laki-laki), maka mereka memperoleh sisa harta dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Hal yang sama juga berlaku untuk cucu perempuan, saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak. Dalam hukum waris Islam, status mereka dalam hal ini adalah sebagai 'ashabah bil-ghair (mendapat sisa bersama-sama dengan saudara laki-lakinya dengan perbandingan 1:2).
Jika anak perempuan menjadi ahli waris bersama dengan cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki, maka anak perempuan mendapat 1/2, sementara cucu perempuan mendapat 1/6 sebagai pelengkap 2/3. Hal yang sama berlaku untuk saudara perempuan kandung yang mewarisi bersama saudara perempuan sebapak tanpa ada saudara laki-laki kandung.
Jika saudara perempuan kandung mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan, maka ia mendapat sisa harta. Hal yang sama berlaku juga untuk saudara perempuan sebapak. Status saudara perempuan kandung (atau saudara perempuan sebapak) dalam hal ini disebut sebagai 'ashabah ma'al-ghair (mendapat sisa karena ada orang lain, yaitu anak perempuan atau cucu perempuan).
Dari sebagian ketentuan tentang pembagian warisan kepada ahli waris wanita ini, ternyata ketentuan bagian warisan wanita setengah dari bagian warisan laki-laki hanya terjadi dalam empat kasus, tidak lebih, yaitu anak perempuan bersama anak laki-laki, cucu perempuan bersama cucu laki-laki, saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung, dan saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak. Selain empat keadaan ini, bagian wanita bisa jadi sama dengan bagian laki-laki, bahkan bisa jadi lebih besar. Sebagai contoh, saudara perempuan seibu sama bagiannya dengan saudara laki-laki seibu, berapapun jumlah mereka.
achmad.yani.polmed@gmail.com
http://www.achmad-yani.co.cc/
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu."
(Q.S. An-Nahl: 58-59).
SEJARAH membuktikan bahwa perlakuan terhadap wanita – sebelum Islam datang – sangat tidak manusiawi. Umar RA pernah mengatakan, "Demi Allah, pada zaman jahilliyah di mata kami wanita itu bukan apa-apa, sampai akhirnya Allah menurunkan apa yang harus Dia turunkan tentang mereka dan membagikan apa yang harus Dia bagikan untuk mereka."
Pada zaman jahiliyah dahulu, wanita tidak memiliki hak waris karena wanita tidak mampu mengangkat senjata dan membawa tameng. Seorang wanita pada masa itu tidak memiliki hak apa pun terhadap suaminya. Sebaliknya, seorang laki-laki berhak menceraikan isterinya lalu merujuknya kembali, dan menceraikannya lagi, dan merujuknya lagi. Begitu seterusnya tanpa ada batasan, dan itu dapat dilakukan kapan saja laki-laki itu mau. Seorang laki-laki pada waktu itu juga berhak melakukan poligami dalam jumlah berapa saja yang diinginkannya. Kemudian, jika ada seorang laki-laki wafat dengan meninggalkan seorang isteri dan beberapa anak laki-laki yang bukan anak isterinya tadi, maka anak yang paling tua berhak mendapatkan isteri mendiang ayahnya itu (ibu tirinya). Dia menganggap ibu tirinya itu sebagai harta warisan mendiang ayahnya sebagaimana harta-hartanya yang lain. Apabila dia berminat mengambil ibu tirinya itu sebagai isterinya sendiri, maka dia cukup hanya melemparkan sepotong pakaian kepadanya. Maka resmilah mereka berdua sebagai suami isteri. Namun, apabila ternyata dia tidak berminat, dia bisa mengawinkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Keadaan ini, setelah Islam datang, dibatalkan oleh Allah dengan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (An-Nisa: 19)
Bahkan di kala itu ada makanan yang hanya khusus bagi laki-laki dan haram bagi wanita. Perbuatan buruk mereka dapat dibuktikan dalam ayat berikut, "Dan mereka mengatakan, 'Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui" (Al-An'am: 139).
Dan masih banyak lagi kebiasaan buruk yang berlaku di tengah-tengah masyarakat jahiliyah dahulu kalau mau disebutkan satu per satu. Tulisan ini bukan untuk membahas semuanya itu, tetapi meninjau bagaimana Allah, melalui hukum waris yang ditetapkan-Nya, mengangkat derajat wanita.
Wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang sama. Dalam hukum Islam, wanita diletakkan dalam kerangka yang sama dengan pria. Apabila pria dapat melakukan muamalah, seperti berjual beli, memberikan kesaksian dan menuntut di pengadilan, demikian pula wanita. Namun bukan berarti Islam memberikan kepada wanita kedudukan yang sama persis dengan kedudukan pria. Islam secara jujur dan bertanggung jawab tetap meletakkan dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang bijaksana antara pria dan wanita. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam hak warisan, talak dan kesaksian di pengadilan.
Dalam masalah warisan, Allah tidak melakukan diskriminasi kepada wanita dalam menerima bagian. "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (Q.S. An-Nisa`: 7). Ayat ini turun berkenaan dengan Aus bin Tsabit Al-Anshari RA yang wafat meninggalkan seorang isteri bernama Ummu Kajah dan tiga anak perempuan. Selain itu, ada dua sepupu laki-laki si mayit dari pihak ayah, masing-masing Suwaid dan 'Arfajah. Keduanya mengambil harta peninggalan Aus dan tidak memberikan sedikit pun kepada isteri Aus dan anak-anaknya. Ummu Kajah mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau memanggil kedua laki-laki tadi. Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, anak Ummu Kajah tidak bisa mengendarai kuda, tidak mampu menanggung beban yang berat, dan tidak kuat memerangi musuh."
Rasulullah SAW menjawab, "Pergilah dulu sehingga saya mendapatkan keputusan dari Allah mengenai mereka (isteri dan anak-anak Aus)." Kemudian Allah menurunkan ayat di atas (An-Nisa: 7) sebagai jawaban terhadap kedua laki-laki itu, dan menyalahkan pendapat dan sikap mereka. Seharusnya ahli waris yang masih kecil lebih berhak terhadap warisan daripada orang dewasa karena mereka belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan mencari penghidupan. Mereka yang merampas hak anak-anak kecil (yatim) telah membalikkan hukum, tidak mempedulikan hikmah dan tersesat karena mengikuti hawa nafsu.
Setelah menerima ayat tersebut, Nabi SAW mengirim
Dalam riwayat Jabir RA dijelaskan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah karena isteri Sa'ad bin Rabi' RA mengadukan suatu perkara kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, ini adalah kedua anak perempuan Sa'ad bin Rabi' RA. Sa'ad ikut dengan Engkau dalam perang Uhud dan syahid di
Kedua kisah ini menjadi sebagian dari bukti bahwa Allah telah menghapuskan adat jahiliyah yang telah menyisihkan wanita dalam menerima bagian warisan. Bahkan Allah telah memberikan bagian kepada wanita yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan si mayit – baik hubungan nasab maupun hubungan nikah – dengan bagian-bagian yang sudah tertentu. Dalam istilah hukum waris Islam, mereka ini termasuk golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang memiliki bagian yang sudah tertentu/pasti/jelas). Mereka – para wanita – yang dimaksud ini adalah anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak bapak, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, dan isteri.
Surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176 menjelaskan pembagian warisan kepada ahli waris yang sebagian besar wanita dengan rinci. Selaku anak perempuan, ia akan mendapatkan 1/2 jika sendiri, atau 2/3 jika lebih dari seorang. Hal yang sama berlaku untuk cucu perempuan jika tidak ada anak perempuan. Selaku ibu, ia bisa mendapatkan 1/6 jika si mayit memiliki anak atau saudara dua orang atau lebih, atau 1/3 dalam kondisi selain itu; kecuali dalam hal ahli waris hanya bapak, ibu, dan salah seorang suami atau isteri, maka ibu mendapat 1/3 dari sisa setelah diberikan kepada suami atau isteri. Selaku nenek, bagiannya adalah 1/6 jika tidak ada ibu. Selaku saudara perempuan kandung, ia akan mendapatkan 1/2 jika sendiri, atau 2/3 jika lebih dari seorang. Hal yang sama berlaku untuk saudara perempuan sebapak jika tidak ada saudara perempuan kandung. Selaku saudara perempuan seibu, bagiannya dalah 1/6 jika sendiri, atau 1/3 jika lebih dari seorang, tanpa memandang apakah mereka laki-laki atau perempuan. Dan selaku isteri, bagiannya 1/8 jika si mayit memiliki anak, atau 1/4 jika tidak mempunyai anak.
Jika anak perempuan dari si mayit bersama-sama dengan saudara laki-lakinya (yaitu anak laki-laki), maka mereka memperoleh sisa harta dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Hal yang sama juga berlaku untuk cucu perempuan, saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak. Dalam hukum waris Islam, status mereka dalam hal ini adalah sebagai 'ashabah bil-ghair (mendapat sisa bersama-sama dengan saudara laki-lakinya dengan perbandingan 1:2).
Jika anak perempuan menjadi ahli waris bersama dengan cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki, maka anak perempuan mendapat 1/2, sementara cucu perempuan mendapat 1/6 sebagai pelengkap 2/3. Hal yang sama berlaku untuk saudara perempuan kandung yang mewarisi bersama saudara perempuan sebapak tanpa ada saudara laki-laki kandung.
Jika saudara perempuan kandung mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan, maka ia mendapat sisa harta. Hal yang sama berlaku juga untuk saudara perempuan sebapak. Status saudara perempuan kandung (atau saudara perempuan sebapak) dalam hal ini disebut sebagai 'ashabah ma'al-ghair (mendapat sisa karena ada orang lain, yaitu anak perempuan atau cucu perempuan).
Dari sebagian ketentuan tentang pembagian warisan kepada ahli waris wanita ini, ternyata ketentuan bagian warisan wanita setengah dari bagian warisan laki-laki hanya terjadi dalam empat kasus, tidak lebih, yaitu anak perempuan bersama anak laki-laki, cucu perempuan bersama cucu laki-laki, saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung, dan saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak. Selain empat keadaan ini, bagian wanita bisa jadi sama dengan bagian laki-laki, bahkan bisa jadi lebih besar. Sebagai contoh, saudara perempuan seibu sama bagiannya dengan saudara laki-laki seibu, berapapun jumlah mereka.
Nasihat Seputar Harta Peninggalan
بسم
الله الرحمن الرحيم
Semua harta, pada dasarnya adalah milik Allah. Hal ini
sesuai dengan firman-Nya:
"Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S. Luqman: 26)
Allah memberikan harta dan hak atas harta itu kepada manusia sebagai titipan dan ujian. Jika manusia menggunakan harta itu di jalan Allah, yaitu sesuai dengan aturan yang telah digariskan Allah, maka Allah akan memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda.
"Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S. Luqman: 26)
Allah memberikan harta dan hak atas harta itu kepada manusia sebagai titipan dan ujian. Jika manusia menggunakan harta itu di jalan Allah, yaitu sesuai dengan aturan yang telah digariskan Allah, maka Allah akan memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda.
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أي الصدقة أعظم أجرا؟ قال أن تصدق وأنت صحيح شحيح تخشى الفقر وتأمل الغنى ولا تمهل حتى إذا بلغت الحلقوم قلت لفلان كذا ولفلان كذا وقد كان لفلان
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, 'Ya Rasulullah, sedekah apakah yang terbesar pahalanya?' Beliau bersabda, 'Sedekah yang kamu berikan ketika kondisimu sehat, sedang takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi kaya. Dan jangan kamu memperlambatnya, sehingga maut sudah di tenggorokan, lalu kamu berkata, 'Untuk si Fulan sekian, untuk si Fulan sekian…', padahal hartanya itu telah menjadi miliki si Fulan [yaitu harta tersebut sudah termasuk hak ahli waris]." (H.R. Bukhari – Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan sabda Nabi SAW bahwa permisalan orang yang bersedekah ketika akan meninggal dunia adalah seperti seseorang yang sudah cukup makan, lalu sisanya ia berikan kepada orang lain.
Nabi SAW menyatakan dengan berbagai permisalan bahwa waktu bersedekah yang benar adalah ketika dalam keadaan sehat, sebab pada saat itulah waktu yang benar-benar bermujahadah (berjuang) melawan hawa nafsu. Tetapi semua ini bukan bermaksud bahwa orang yang bersedekah ketika akan meninggal dunia itu sia-sia; pahala sedekahnya tetap ia dapatkan, dan akan menjadi simpanannya di akhirat walaupun ia tidak mendapatkan pahala sebanyak yang ia dapatkan ketika bersedekah pada waktu senang dan ada keperluan. Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."(Q.S. Al-Baqarah: 180)
Perintah Allah ini turun pada zaman permulaan Islam. Pada zaman itu, wasiat untuk kedua orang tua adalah fardhu. Dan ketika hukum waris diturunkan, maka hak kedua orang tua dan sanak saudara telah ditentukan sendiri, sehingga kewajiban wasiat atas mereka telah dihapuskan. Namun sanak saudara yang belum tercantum dalam syariat, mereka masih memiliki hak wasiat, hanya saja sebelumnya adalah fardhu, tetapi sekarang bukan fardhu lagi. Ibnu Abbas RA berkata bahwa dengan ayat waris, maka hukum wasiat untuk sanak saudara yang menjadi ahli waris telah dimansukh (dihapuskan), tetapi sanak saudara yang belum menjadi ahli waris, hukum wasiat bagi mereka belum dimansukh. Qatadah rah.a. berkata bahwa wasiat adalah bagi mereka yang bukan ahli waris, baik mereka sanak saudara ataupun bukan.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman, "Wahai anak Adam, kamu telah kikir dalam hidupmu, ketika kamu mati kamu mubadzir. Janganlah menyatukan dua keburukan: (a) bakhil dalam hidup, dan (b) bakhil dalam kematian. Lihatlah siapakah di antara sanak saudaramu yang tidak menjadi ahli warismu, dan berwasiatlah untuk mereka."
Sebuah hadits menyebutkan bahwa setelah manusia mati, ia akan mendapat pahala dari tujuh perkara: (1) ilmu yang telah diajarkan untuk orang lain, (2) sungai yang telah dialirkan, (3) sumur yang telah digali, (4) pohon yang telah ditanam, (5) masjid yang telah dibangun, (6) Al-Qur'an yang telah diwariskan, dan (7) anak sholeh yang ditinggal dan ia selalu berdoa untuk keampunannya."
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, ketika Nabi SAW bertanya kepada para sahabat, "Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta waisnya daripada harta miliknya sendiri?" Maka para sahabat menjawab, "Tidak seorang pun di antara kami yang lebih menyukai harta warisnya daripada harta miliknya sendiri." Maka Nabi SAW bersabda, "Harta seseorang itu hanyalah apa yang telah dia kirim terlebih dahulu (ke akhirat), dan apa yang ia tinggalkan itu bukanlah hartanya, tetapi harta milik ahli waris."
Hadits ini memiliki beberapa maksud. Di antaranya adalah untuk menggairahkan bersedekah ketika sehat dan ketika ada keperluan, juga untuk mencegah seseorang dari mewasiatkan seluruh atau sebagian besar hartanya saat datang sakaratul maut. Di samping itu, hadits ini juga mengandung pengertian bahwa mewasiatkan harta yang akhirnya menyengsarakan ahli waris adalah wajib mendapat celaan dan ancaman.
Demikianlah sebagian di antara nasihat tentang harta (peninggalan). Dari beberapa ayat dan hadits di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa harta sebagai titipan dari Allah, hendaklah kita gunakan sesuai dengan keinginan Allah, baik harta yang telah kita habiskan semasa hidup, maupun harta yang kelak akan kita wariskan kepada para ahli waris. Di samping itu, penting juga untuk bersedekah dan berwasiat dengan cara yang benar sebelum ajal menjemput kita. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Wallahu a'lamu bishshawab.
HUKUM WARIS ISLAM: MENGATUR ATAU MEMAKSA?
Oleh: Achmad Yani, S.T., M.Kom.
(Telah dimuat di Harian Waspada Jum'at, 31 Oktober 2008, Rubrik Mimbar Jum'at)
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (Q. S. An-Nisa': 7)
Agama Islam pada dasarnya dapat dibagi ataslima komponen. Kelima komponen ini adalah
Imaniyah (Tauhid, Aqidah), Ibadah, Muamalah, Muasyarah, dan Akhlaq. Bagi umat
Islam, idealnya tentu mengamalkan semua bagian agama ini secara menyeluruh
(kaffah) sesuai dengan tuntunan yang berasal dari sumber hukum Islam sendiri,
yaitu Al-Qur'an dan Hadits.
Untuk dapat mengamalkan semua bagian agama ini, tentunya harus dimulai dari pengetahuan tentang aturan-aturan (syariat) yang berlaku. Dalam bab imaniyah misalnya, sejak dini kita telah diajarkan oleh orang tua kita tentang Rukun Iman yang berisi enam hal pokok yang harus diimani oleh setiap muslim, yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, dan Qadar. Demikian pula, bab ibadah mengenal adanya Rukun Islam yang mencakuplima kewajiban dasar seorang muslim, yaitu
Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji. Bagaimana halnya dengan bab muamalah,
muasyarah, dan akhlaq?
Pada tulisan ini hanya akan disorot masalah hukum waris Islam yang sering disebut hukum faraidh. Hukum waris dapat dimasukkan dalam bab muamalah. Secara umum, bab muamalah berkaitan dengan pengaturan transaksi atau perpindahan harta benda di antara sesama muslim. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam didefinisikan sebagai seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW tentang hal ihwal peralihan harta atau yang berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.
Pada dasarnya, kalau dianalisis lebih lanjut, maka hukum waris memiliki dasar hukum (dalil) yang kuat, yaitu Al-Qur'an pada Surat An-Nisa': 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 33, 176, Surat Al-Anfal: 75, dan beberapa (tidak banyak) hadits Nabi SAW. Secara tegas, Allah memberikan janji surga bagi yang mengamalkan hukum ini melalui Surat An-Nisa: 13, dan ancaman neraka bagi pelanggarnya melalui Surat An-Nisa': 14. Adapun Surat An-Nisa': 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama, memberikan rincian ahli waris dan bagian masing-masing dalam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.
Dari ayat-ayat tentang waris, dapat dipahami bahwa peralihan harta dari yang meninggal (pewaris) kepada yang hidup (ahli waris) berikut jumlah bagiannya terjadi tidak atas kehendak pewaris maupun ahli waris, tetapi atas kehendak Allah melalui Al-Qur'an. Ini mengandung arti bahwa terjadinya waris-mewarisi dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya adalah bersifat memaksa.
Dalam terminologi ilmu hukum, dikenal dua sifat hukum, yaitu hukum yang 'memaksa' dan hukum yang 'mengatur'.
Hukum disebut bersifat 'memaksa' apabila ketentuan hukum yang ada tidak dapat dikesampingkan, yaitu, perintah atau larangan hukum tersebut – tidak bisa tidak – harus ditaati. Seandainya tidak ditaati, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi atau hukuman tertentu.
Dalam pengertian hukum yang bersifat 'mengatur', maka hukum yang ada dapat dikesampingkan (tidak dipedomani) seandainya para pihak berkeinginan lain sesuai dengan kesepakatan atau musyawarah di antara mereka. Dalam hal ini, kalau pun tidak dilaksanakan ketentuan hukum yang ada, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum karena sifatnya yang (sekedar) mengatur itu.
Secara hukum, ternyata tidak ada satu ketentuan pun (nash), baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits Nabi SAW, yang menyatakan bahwa membagi harta warisan menurut ketentuan hukum waris Islam itu tidak wajib. Bahkan sebaliknya, Allah telah menyatakan kewajibannya seperti dapat dilihat pada ayat-ayat waris yang telah disebutkan sebelumnya. Ayat-ayat waris ini jelas menunjukkan kekuatan atau kewajibannya. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud, "Bagilah harta warisan di antara para ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur'an)."
Sebenarnya, aturan-aturan berkenaan dengan pembagian warisan menurut syariat Islam secara keseluruhan begitu sederhana dan mudah dipahami. Sayangnya, hukum waris ini terlanjur diasumsikan sebagai sesuatu yang sulit dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu. Mengapa? Memang, sesuai dengan salah satu hadits Nabi SAW, ilmu faraidh telah dinyatakan sebagai ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umat ini pada akhir zaman nanti. Hal ini telah terbukti karena begitu langkanya orang yang mau mendalami ilmu ini. Padahal, Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh. Hal ini jelas menunjukkan kewajiban belajar dan mengajar ilmu faraidh. Dan ternyata, tidak ditemukan satu nash pun, baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits, yang menyatakan ketidakwajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu ini.
Jadi, dapat dipahami bahwa melaksanakan hukum waris (dalam arti melaksanakan pembagian warisan menurut syariat Islam) sama wajibnya dengan mempelajari dan mengajarkan hukum waris itu sendiri.
Dari uraian di depan, dikaitkan dengan sifat hukum yang telah dikemukakan, maka hukum waris Islam yang telah diatur oleh Allah SWT merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa. Karena itu, wajib bagi setiap pribadi muslim untuk mengamalkannya. Dengan adanya dasar hukum yang kuat seperti telah diuraikan, maka anggapan bahwa ketentuan hukum waris Islam hanya sekedar bersifat mengatur tidak dapat diterima karena tidak adanya ketentuan yang menyatakan ketidakwajibannya, baik dalam hal mengamalkannya maupun mempelajarinya dan mengajarkannya. Bahkan, dengan mengacu kepada sumber hukum asalnya, pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum waris Islam dikenakan sanksi langsung oleh Allah SWT – meskipun bukan di dunia ini – di akhirat kelak menurut Surat An-Nisa': 14.
Sebagai muslim, tentu tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti tuntunan yang berlaku menurut sumber hukum Islam sendiri. Tidak hanya dalam masalah imaniyah dan ibadah, dalam masalah faraidh pun hendaknya setiap pribadi muslim konsisten dalam mengamalkannya. Konsisten? Ya, karena berbicara soal dasar hukum, hukum yang berlaku tentang ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya, sama kuatnya dengan hukum waris. Jika seorang muslim wajib mendirikan shalat pada waktu yang telah ditentukan (shalatlima
waktu), misalnya, maka dia juga wajib menjalankan hukum waris Islam yang
berlaku pada waktu terjadinya pembagian warisan yang melibatkan dirinya. Hal
ini juga sama wajibnya dengan berpuasa pada waktu yang ditentukan (bulan
Ramadhan).
Setelah memperbincangkan dan memahami kekuatan hukum waris Islam, selayaknya tidak ada alasan lagi bagi setiap muslim untuk mengambil hukum waris lain selain hukum waris Islam. Ketaatan seorang muslim dalam melaksanakan hukum waris Islam, seperti halnya hukum syariat lainnya, merupakan tolok ukur dari kadar keimanannya kepada Allah Yang Maha Bijaksana. Hendaknya setiap pribadi muslim menyadari bahwa mengambil hukum selain hukum yang berasal dari Allah SWT dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari tiga macam sebutan ini: kafir, zhalim, atau fasik (lihat Surat Al-Maidah: 44, 45, 47). Na'udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak tergolong hamba Allah yang mendapat tiga macam sebutan ini.
Dengan adanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka hukum kewarisan Islam menjadi hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Dalam perkembangannya, hukum kewarisan Islam sebagai hukum positif diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Meskipun oleh sebagian pihak KHI ini tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan (karena memang KHI belum berwujud undang-undang, sehingga statusnya masih di bawah undang-undang), para pelaksana di peradilan agama telah sepakat menjadikannya sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara di pengadilan.
Di dalam KHI yang memuat tiga buku, hukum waris Islam dicantumkan dalam Buku Kedua tentang Hukum Kewarisan. Hukum Kewarisan yang diatur dalam Pasal 171 sampai dengan 193 pada umumnya telah sesuai atau sejalan dengan hukum faraidh Islam. Namun demikian, ada beberapa pasal krusial yang perlu diperhatikan, yaitu Pasal 173 tentang halangan mewarisi, Pasal 177 tentang kewarisan bapak, Pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian warisan, dan Pasal 185 tentang ahli waris pengganti.
Di masa mendatang, diharapkan hukum kewarisan Islam diterapkan dengan menyiapkan perangkat hukum dalam bentuk undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang jelas. Selanjutnya di dalam rumusan undang-undang ini hendaknya dihindarkan adanya opsi (pilihan) untuk menggunakan hukum waris di luar hukum waris Islam bagi umat Islam. Dan juga yang penting, pelanggaran terhadap undang-undang ini hendaknya diberikan sanksi yang sesuai. Dengan cara ini, maka upaya mencari kepastian hukum dapat ditegakkan. Insyaallah.
(Telah dimuat di Harian Waspada Jum'at, 31 Oktober 2008, Rubrik Mimbar Jum'at)
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (Q. S. An-Nisa': 7)
Agama Islam pada dasarnya dapat dibagi atas
Untuk dapat mengamalkan semua bagian agama ini, tentunya harus dimulai dari pengetahuan tentang aturan-aturan (syariat) yang berlaku. Dalam bab imaniyah misalnya, sejak dini kita telah diajarkan oleh orang tua kita tentang Rukun Iman yang berisi enam hal pokok yang harus diimani oleh setiap muslim, yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, dan Qadar. Demikian pula, bab ibadah mengenal adanya Rukun Islam yang mencakup
Pada tulisan ini hanya akan disorot masalah hukum waris Islam yang sering disebut hukum faraidh. Hukum waris dapat dimasukkan dalam bab muamalah. Secara umum, bab muamalah berkaitan dengan pengaturan transaksi atau perpindahan harta benda di antara sesama muslim. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam didefinisikan sebagai seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW tentang hal ihwal peralihan harta atau yang berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.
Pada dasarnya, kalau dianalisis lebih lanjut, maka hukum waris memiliki dasar hukum (dalil) yang kuat, yaitu Al-Qur'an pada Surat An-Nisa': 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 33, 176, Surat Al-Anfal: 75, dan beberapa (tidak banyak) hadits Nabi SAW. Secara tegas, Allah memberikan janji surga bagi yang mengamalkan hukum ini melalui Surat An-Nisa: 13, dan ancaman neraka bagi pelanggarnya melalui Surat An-Nisa': 14. Adapun Surat An-Nisa': 11, 12, dan 176 yang merupakan ayat-ayat waris utama, memberikan rincian ahli waris dan bagian masing-masing dalam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.
Dari ayat-ayat tentang waris, dapat dipahami bahwa peralihan harta dari yang meninggal (pewaris) kepada yang hidup (ahli waris) berikut jumlah bagiannya terjadi tidak atas kehendak pewaris maupun ahli waris, tetapi atas kehendak Allah melalui Al-Qur'an. Ini mengandung arti bahwa terjadinya waris-mewarisi dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya adalah bersifat memaksa.
Dalam terminologi ilmu hukum, dikenal dua sifat hukum, yaitu hukum yang 'memaksa' dan hukum yang 'mengatur'.
Hukum disebut bersifat 'memaksa' apabila ketentuan hukum yang ada tidak dapat dikesampingkan, yaitu, perintah atau larangan hukum tersebut – tidak bisa tidak – harus ditaati. Seandainya tidak ditaati, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi atau hukuman tertentu.
Dalam pengertian hukum yang bersifat 'mengatur', maka hukum yang ada dapat dikesampingkan (tidak dipedomani) seandainya para pihak berkeinginan lain sesuai dengan kesepakatan atau musyawarah di antara mereka. Dalam hal ini, kalau pun tidak dilaksanakan ketentuan hukum yang ada, perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum karena sifatnya yang (sekedar) mengatur itu.
Secara hukum, ternyata tidak ada satu ketentuan pun (nash), baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits Nabi SAW, yang menyatakan bahwa membagi harta warisan menurut ketentuan hukum waris Islam itu tidak wajib. Bahkan sebaliknya, Allah telah menyatakan kewajibannya seperti dapat dilihat pada ayat-ayat waris yang telah disebutkan sebelumnya. Ayat-ayat waris ini jelas menunjukkan kekuatan atau kewajibannya. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud, "Bagilah harta warisan di antara para ahli waris menurut Kitabullah (Al-Qur'an)."
Sebenarnya, aturan-aturan berkenaan dengan pembagian warisan menurut syariat Islam secara keseluruhan begitu sederhana dan mudah dipahami. Sayangnya, hukum waris ini terlanjur diasumsikan sebagai sesuatu yang sulit dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu. Mengapa? Memang, sesuai dengan salah satu hadits Nabi SAW, ilmu faraidh telah dinyatakan sebagai ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umat ini pada akhir zaman nanti. Hal ini telah terbukti karena begitu langkanya orang yang mau mendalami ilmu ini. Padahal, Rasulullah SAW telah memerintahkan untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh. Hal ini jelas menunjukkan kewajiban belajar dan mengajar ilmu faraidh. Dan ternyata, tidak ditemukan satu nash pun, baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits, yang menyatakan ketidakwajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu ini.
Jadi, dapat dipahami bahwa melaksanakan hukum waris (dalam arti melaksanakan pembagian warisan menurut syariat Islam) sama wajibnya dengan mempelajari dan mengajarkan hukum waris itu sendiri.
Dari uraian di depan, dikaitkan dengan sifat hukum yang telah dikemukakan, maka hukum waris Islam yang telah diatur oleh Allah SWT merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa. Karena itu, wajib bagi setiap pribadi muslim untuk mengamalkannya. Dengan adanya dasar hukum yang kuat seperti telah diuraikan, maka anggapan bahwa ketentuan hukum waris Islam hanya sekedar bersifat mengatur tidak dapat diterima karena tidak adanya ketentuan yang menyatakan ketidakwajibannya, baik dalam hal mengamalkannya maupun mempelajarinya dan mengajarkannya. Bahkan, dengan mengacu kepada sumber hukum asalnya, pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum waris Islam dikenakan sanksi langsung oleh Allah SWT – meskipun bukan di dunia ini – di akhirat kelak menurut Surat An-Nisa': 14.
Sebagai muslim, tentu tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti tuntunan yang berlaku menurut sumber hukum Islam sendiri. Tidak hanya dalam masalah imaniyah dan ibadah, dalam masalah faraidh pun hendaknya setiap pribadi muslim konsisten dalam mengamalkannya. Konsisten? Ya, karena berbicara soal dasar hukum, hukum yang berlaku tentang ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya, sama kuatnya dengan hukum waris. Jika seorang muslim wajib mendirikan shalat pada waktu yang telah ditentukan (shalat
Setelah memperbincangkan dan memahami kekuatan hukum waris Islam, selayaknya tidak ada alasan lagi bagi setiap muslim untuk mengambil hukum waris lain selain hukum waris Islam. Ketaatan seorang muslim dalam melaksanakan hukum waris Islam, seperti halnya hukum syariat lainnya, merupakan tolok ukur dari kadar keimanannya kepada Allah Yang Maha Bijaksana. Hendaknya setiap pribadi muslim menyadari bahwa mengambil hukum selain hukum yang berasal dari Allah SWT dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari tiga macam sebutan ini: kafir, zhalim, atau fasik (lihat Surat Al-Maidah: 44, 45, 47). Na'udzubillahi min dzalik. Semoga kita tidak tergolong hamba Allah yang mendapat tiga macam sebutan ini.
Dengan adanya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka hukum kewarisan Islam menjadi hukum positif di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Dalam perkembangannya, hukum kewarisan Islam sebagai hukum positif diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Meskipun oleh sebagian pihak KHI ini tidak diakui sebagai hukum perundang-undangan (karena memang KHI belum berwujud undang-undang, sehingga statusnya masih di bawah undang-undang), para pelaksana di peradilan agama telah sepakat menjadikannya sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara di pengadilan.
Di dalam KHI yang memuat tiga buku, hukum waris Islam dicantumkan dalam Buku Kedua tentang Hukum Kewarisan. Hukum Kewarisan yang diatur dalam Pasal 171 sampai dengan 193 pada umumnya telah sesuai atau sejalan dengan hukum faraidh Islam. Namun demikian, ada beberapa pasal krusial yang perlu diperhatikan, yaitu Pasal 173 tentang halangan mewarisi, Pasal 177 tentang kewarisan bapak, Pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian warisan, dan Pasal 185 tentang ahli waris pengganti.
Di masa mendatang, diharapkan hukum kewarisan Islam diterapkan dengan menyiapkan perangkat hukum dalam bentuk undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang jelas. Selanjutnya di dalam rumusan undang-undang ini hendaknya dihindarkan adanya opsi (pilihan) untuk menggunakan hukum waris di luar hukum waris Islam bagi umat Islam. Dan juga yang penting, pelanggaran terhadap undang-undang ini hendaknya diberikan sanksi yang sesuai. Dengan cara ini, maka upaya mencari kepastian hukum dapat ditegakkan. Insyaallah.
No comments:
Post a Comment