Hukuman Potong Tangan Bagi Pencuri
(Perbandingan Fiqh Syafi’iyah Dengan Hukum
Positif Pasal 362 KUHP)
A. Latar Belakang masalah
Tujuan hukum Pidana menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (K.U.H.P) adalah mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga hak
dan kepentingan masyarakat terjamin. (Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: CV Armico, 1985), hal 148).Dari tujuan ini dapat kita ketahui
bahwa tujuan hukum Positif dan hukum Islam mempunyai suatu kesamaan. Namun
dalam hukum positif kepentingan-kepentingan hukum yang di lindungi disini ada
enam bagian, yang meliputi ; jiwa seseorang, badan, kehormatan, kemerdekaan,
dan harta benda. Satu hal yang berbeda adalah UU mengakui kemerdekaan bagi
setiap warga dan tidak mengakui adanya perbudakan. Menurut K.U.H.Pidana,
pencurian merupakan suatu hal yang terlarang dan diancam dengan hukuman berupa
siksaan badan, bukan potong tangan. Tetapi kalau melihat kepada adanya
keistimewaan dari hukum pidana yaitu hukuman yang dapat mencakup kepada hukuman
yang bisa melanggar kepribadian seseorang yang di kenakan hukuman, misalnya
hukuman mati, didenda dan di penjara, atau bila melihat kepada hukuman mati
bagi para pembunuh bayaran, maka tidak mustahil dalam kasus pencurian dapat
juga dilaksanakan hukuman potong tangan.
Dalam fiqh syafi’iyah
pemberlakuan hukuman potong tangan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu
apabila barang yang dicuri telah sampai nisabnya
(ukuran/kadar harga barang yang dicuri), tidak adanya syubhat terhadap barang curian, dapat dipindahkan kepemilikannya
kepada pihak yang lain, berharga (mempunyai nilai jual), dan halal.
Hukum positif tidak mengenal adanya nisab terhadap barang curian, tetapi
pencuriannya hanya dibedakan menjadi tiga macam ; pencurian ringan, pencurian
berat (pencurian dengan pemberatan), dan pencurian dengan kekerasan. Barang
yang dicuri menurut K.U.H.Pidana tidak mesti barang yang mempunyai nilai
ekonomis, sehingga apabila seseorang mengambil beberapa helai rambut wanita
tanpa izin, maka ia dapat dikatakan sebagai pencuri. Pasal 367(1) KUHP
dijelaskan bahwa:”Jika pembuat atau pembantu dari salah-satu kejahatan dalam
bab ini adalah suami (isteri) dari yang terkena kejahatan dan tidak terpisah
meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau
pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan”. ( Soenarto
Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi
Dengan Mahkamah Agung Dan Hoog Raad, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 225).
Dari Pasal jelas bahwa
dalam hukum positif apabila tindak pidana pencurian di lakukan oleh
suami/isteri maka mereka tidak bisa dituntut dengan syarat tidak pisah meja,
ranjang, dan harta kekayaan. Kalau dalam hukum Islam pencurian ini digolongkan
kedalam pencurian harta syubhat yang
tidak dikenakan hukuman potong tangan. Keistimewaan hukum pidana memungkinkan
hukuman potong tangan diterapkan dalam hukum positif. Namun karena Indonesia
adalah Negara yang berpegang kepada UUD 45 dan berideologi Pancasila yang
mengakui keberadaan beberapa agama, maka ketika kelompok Muslim ingin
memastikan hukum potong tangan diterapkan dalam hukum positif, pihak pemerintah
mencap mereka separatis atau pengacau dan sebagainya. Padahal kalau seorang
Muslim melakukannya maka ia juga harus menerima hukuman itu pula. ( Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi
Syari’at Islam di Aceh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), hal 57).
Apabila pemberlakuan
hukum potong tangan di bedakan antara kelompok Muslim dengan non Muslim, hal
ini berlawanan dengan logika hukum yang mengikat kepada setiap orang tanpa
adanya perbedaan dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan
oleh alat negara. Ketika syariah telah telah dituangkan menjadi aturan hukum
dalam suatu masyarakat, maka hukum itu harus di junjung secara bersama-sama.
Sungguh aneh jika dua orang yang mencuri diberikan hukuman yang berbeda hanya
karena yang satu Muslim sedangkan yang lainnya bukan Muslim. Persoalan esensial
lainnya adalah pemberlakuan hukuman potong tangan dianggap melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM). Karena ketika tangan si pencuri di potong (amputasi) maka hak
individu pencuri tersebut telah dilanggar. Direktur Aceh
Judicial Monitoring Institut (AJMI) Hendra Budian ketika ditanyakan tentang Qanun potong tangan bagi pencuri
mengatakan melanggar HAM ketika ada orang yang melakukan pencurian, karena
negara tidak dapat memenuhi kesejahteraan warganya. ( Www Serambi News Com ,
Diakses tanggal 27 April 2007).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka yang
ingin penulis kaji dan teliti terumus dalam dua
pertanyaan:
1. Bagaimana konsep fiqh syafi’iyah dan hukum positif
tentang pemberlakuan hukum terhadap tindak pidana pencurian.
2. Relevansikah jika
hukuman potong tangan diterapkan dalam hukum positif Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Bagaimana konsep fiqh syafi’iyah
dan hukum positif tentang pemberlakuan hukum terhadap tindak pidana pencurian.
2. Untuk mengkaji
relevansikah jika hukuman potong tangan diterapkan dalam hukum positif Indonesia?
D. Penjelasan Istilah
1. Hukuman
Dr Muslim, MA dalam bukunya fiqh
muqarran memberikan pengertian hukum adalah: hukum berasal dari bahasa arab
yang arti logawinya adalah menetapkan sesuatu pada sesuatu, atau meniadakan
ketentuan itu. Sedangkan menurut istilah fiqh hukum adalah:
خطب
الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاءً او تخييرا او وضعا
Hukuman dalam istilah fiqh disebut “uqubah”. Syeh Abdul Qadir memberi
definisi uqubah yaitu:
العقو بة هي الجز اء
المقوي للمصلحة علي عصيان الشارع
Dari penjelasan ini, hukuman yang dimaksud dalam penulisan
ini adalah ancaman atau sanksi pembalasan dan siksaan atas suatu perbuatan yang
melanggar hukum.
Hukuman itu ditetapkan untuk memelihara dan menciptakan
kemashlahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang tercela, karena
Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Untuk memberi petunjuk dan
pelajaran kepada manusia.
2. Tangan
Tangan merupakan salah satu
bagian dari anggota tubuh, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tangan berarti;
anggota badan dari siku sampai ke ujung jari atau dari pergelangan sampai ujung
jari. Syekh Ibrahim menyatakan: ” Kata-kata tangan (يد ) secara bahasa adalah mulai dari ujung jari
hingga bahu, kalau menurut istilah fuqaha’ dalam bab wudhu’ mulai dari ujung
jari hingga siku, sedangkan dalam bab sirqah (pencurian) dan seumpamanya mulai
dari ujung jari hingga kepada pergelangan. (Syekh Ibrahim,
Al Bajuri ‘Ala Syarh Matn At-Taqrib,Juz I, (Semarang: Putera Semarang,
t.t.), hal 50).Tangan yang
dipotong karena hukuman had yang penulis maksudkan disini mulai dari
pergelangan hingga kepada ujung jari.Jadi yang dipotong adalah pada
pergelangannya.
3.
Pencuri
Dalam bahasa Arab pencuri
berasal dari kalimat ism fa’il yaitu
:”سا
رق ” yang mempunyai pengertian yaitu:
أخذ ه منه خفية وحيلة
“ Mengambil Sesuatu benda secara
sembunyi-sembunyi dan diam-diam”. (Louis Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut: Al-Kalsulikiyah, t.t.), hal 331).
Pencurian yang penulis maksudkan disini adalah pelaku atau
orang yang melakukan suatu perbuatan mengambil barang (harta) milik orang lain
secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak.
4. Hukum Positif
Berdasarkan dari dua pengertian diatas,
maka yang penulis maksudkan dari Hukum Positif disini adalah hukum yang sedang
berlaku di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
E.
Metode Penelitian
Pembahasan
dalam jurnal ini tertumpu pada perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif
Indonesia tentang hukuman
terhadap pencuri dan relevansinya hukuman potong tangan bagi pencuri jika
diterapkan dalam hukum positif Indonesia.
Dalam pembahasan ini tentunya penulis banyak merujuk kepada teori-teori dan
pembahasan fiqh jinayah dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Indonesia. Penulis akan
menganalisis bahan-bahan dan data untuk mendapatkan pemahaman yang jelas
tentang permasalahan yang ingin dikaji.
Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (Library Reseach) yaitu
menelaah dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan atau
penelitian berdasarkan sumber-sumber rujukan yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas yang ada di perpustakaan STAI Al-‘Aziziyah Samalanga, serta
perpustakaan lainnya. Sumber data utama adalah kitab-kitab yang berkaitan
tentang fiqh jinayah seperti At-
Tasyri’ Al Islami Muqarran bil Qanun Al-Wadhi (Abdul
Qadir ‘Audah), Tuhfatul muhtaj (Ibnu Hajar Al-Haitami), Bidayatul Mujtahid (A.
Dzajuli), Al Bajuri (Syehk Ibrahim), Al mahalli (Syehk
Syihabuddin), Tafsir Ahkam (Syehk H A Halim Hasan), Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Dan lain-lainnya.
Adapun
sumber data sekunder / data pendukungnya penulis merujuk pada beberapa buku
diantaranya adalah seperti: Ilmu Hukum (Satjipto Raharjo), Fiqh
Sunnah (Sayid Sabiq), Hukum Acara Peradilan Islam (Raihan Rasyid),
dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.
Pengertian Pencurian
Pengertian pencurian secara etimologi adalah mengambil
sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan secara terminologi (Menurut istilah
fiqh) pencurian adalah mengambil barang-barang (harta) orang lain secara
sembunyi-sembunyi pada tempat penyimpanannya terhadap harta yang bukan miliknya
baik sebagian atau seluruhnya. ( Syehk Syihabuddin Al-Qulyubi, Al-Mahalli,
Juz IV, hal 187)
Dalam
kalangan orang Arab yang di katatakan dengan pencurian adalah:
من جأ مستترا إلى حرز فأخذه منه ما ليس له
Artinya: pencuri adalah orang yang datang secara
sembunyi-sembunyi ke tempat penyimpanan suatu barang untuk mengambil sesuatu
yang bukan miliknya. (Abdul Karim Al-Quzwaini, Al-Muharra,
Dar Al- Kutub Al-Ilmiyah, hal .433.)
Dari pengertian di atas jelas bahwa pencurian merupakan
suatu perbuatan kejahatan untuk mengambil harta milik orang lain dari tempat
penyimpanannya yang layak. Pencurian termasuk kedalam jarimah hudud yang
mempunyai pembahasan tertentu secara terperinci. Adapun pengertian pencurian
menurut Syehk Syamsuddin (salah
seorang ulama As-Syafi’iyah) adalah:
أخذه خفية ظلما
من حرز مثله
Artinya:
mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi secara dhalim dari tempat
penyimpanannya.
Orang
yang mengambil barang milik orang lain dengan sangkaan miliknya sendiri, dan orang
yang mengambil hartanya sendiri dengan sangkaan milik orang lain, tidak
dikatakan mencuri karena pda kedua kejadian tersebut proses mengambil tidak
secara dhalim. (tanpa hak dengan maksud untuk memiliki harta orang lain)
Untuk
mengetahui pengertian pencurian menurut hukum positif, maka kita perlu untuk
melihat lebih jauh penjelasan yang terdapat dalam KUHPidana dan penjelasannya.
Kata
“curi” secara bahasa artinya adalah mengambil dengan diam-diam,
sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh orang lain. Menurut hukum positif
pencurian adalah perbuatan mengambil suatu barang yang seluruhnya atau
sebagiannya adalah kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum. ( Pipin Syarifin, Hukum
Pidana Indonesia, hal.8) Definisi ini sesuai dengan bunyi pasal 362 (1)
KUHPidana yaitu “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau
sebagian termasuk kepunyaan oang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu
dengan melawan hak, dan hukum , karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya
lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-”
Dari
definisi diatas dapat kita ketahui bahwa perbuatan mengambil milik orang lain
untuk dimiliki dengan tanpa hak adalah perbuatan yang melanggar dengan
ketentuan undang-undang. Dan dari pasal 362 (1) terdapat berberapa unsur
pencurian yaitu :
1)
Adanya
perbuatan pelaku yang mengambil tanpa hak.
2)
yang diambil
harus berupa satu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
3)
Perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum.
Dasar Hukum Larangan Pencurian
Dasar
hukum larangan pencurian dalam agama Islam adalah surat Al Maidah ayat 38.
و السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء
بماكسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم (الماء دة : 38)
Artinya : Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana
(Al Maidah:38)
Asbabun
nuzul dari ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dari
Abdillah bin Amrin adalah, pada zaman Rasulullah Saw ada seorang perempuan yang
mencuri, kemudian perempuan itu di potong tangannya, sebagaimana di perintahkan
Allah SWT dalam ayat ke 38 ini. ( A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi
Pendalaman Al Qur’an, hal.312).
Dalam
ayat tersebut Allah secara tegas menetapkan bahwa bagi siapa saja yang melakukan
perbuatan pencurian baik laki-laki maupun perempuan maka akan dikenakan hukuman
had yaitu potong tangan sebagai balasan dari perbuatannya. Tidak ada
perbedaan antara laki-laki yang mencuri dengan perempuan terhadap hukumannya.
Dasar
hukum larangan mencuri dalam hukum positif adalah KUHP pasal 362 ayat 1 “Barang
siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk
kepunyaan oang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak,
di hukum karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-”
Pasal ini merupakan penjelmaan dari UUD 45 pada BAB XA Hak
Asasi Manusia Pasal 28G ayat ke (1) satu
yaitu :”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. (Undang – Undang Dasar Tahun 1945,
Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, hal. 75)
Yang
menjadi dasar utama dalam larangan pencurian adalah UUD 45 sebagaimana yang
telah di sebutkan di atas. Dari pasal 28G tersebut jelas bahwa Negara
melindungi setiap hak pribadi manusia termasuk di dalamnya perlindungan
terhadap harta benda yang ada di bawah kekuasaannya. Pasal 28G Bab Hak Asasi
Manusia UUD 1945 merupakan hasil kesepakatan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia pada perubahan yang ke dua dari empat perubahan yaitu
tanggal 18 Agustus 2000 yang di ketuai oleh Bapak Prof. Dr.H.M. Amien Rais.
Dasar Hukum Potong Tangan bagi
Pencuri
Untuk melihat dalil-dalil / dasar bagi hukuman potong
tangan bagi pencuri terlebih dahulu perlu diketahui bahwa pencurian di bagi
menjadi dua yaitu pencurian yang diancam dengan hukuman had dan
pencurian yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pencurian yang diancam
dengan hukuman had dibagi menjadi dua yaitu: sariqah sughra (pencurian
kecil atau biasa) dan sariqah qubra (pencurian besar atau pemberatan)
Pencurian kecil adalah pengambilan harta orang lain secara sembunyi-sembunyi.
Sedangkan pencurian besar adalah pengambilan harta orang lain terang terangan
atau dengan kekerasan.
Pencurian yang diancam hukuaman takzir ada dua
jenis, pertama, pencurian yang diancam dengan hukuman had, namun
tidak memenuhi syarat untuk dapat dilaksanakan had karena ada hal yang
syubhat (seperti mengambil harta milik anak sendiri atau harta bersama). Kedua,
mengambil harta dengan sepengetahuan
pemiliknya, dengan tidak menggunakan kekerasan (seperti mengambil jam tangan
yang berada di tangan pemiliknya dengan sepengetahuan pemiliknya dan membawanya
lari atau menggelapkan uang titipan). ( A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 7). Para fuqaha’ sependapat bahwa
seorang pencuri dapat diancam dengan hukuman had (potong tangan), hal
ini sesuai dengan surat
Al Maidah ayat 38 yaitu:
و السارق والسارقة فاقطعوا أيد يهما جزاء بماكسبا نكالا من
الله والله عزيز حكيم)الماء دة : 38(
Artinya : Laki – laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah kedua tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana
(Al-Maidah:38).
Para fuqaha’ berbeda
pendapat tentang kadar (nilai) harta yang dicuri, yang dapat mengakibatkan
hukuman had (potong tangan) terhadap para pelaku pencurian. Perbedaan
ini secara umum disebabkan karena berbedanya pemahaman dalam memahami Al-Qur’an
dan Hadits.
Dalam
hal ini ada tiga pendapat, pertama, pendapat yang mengatakan nilai atau
kadar barang curian yang wajib dikenakan hukuman potong tangan adalah
seperempat dinar yaitu pendapat dari Imam As-Syafi’i dan pengikutnya atau
sering disebut dengan As-Syafi’iyah .Kedua, pendapat yang
mengatakan tiga Dirham ini adalah pendapat Imam Malik dan Hanbali. Ketiga,
pendapat yang mengatakan nisab sariqah yang wajib dikenakan hukuman had
(potong tangan) sebanyak sepuluh dirham adalah pendapat Imam Hanafi dan
pengikutnya. Pendapat Imam As-Syafi’i dan para pengikutnya (Syafi’iyah)
mengatakan nisab barang curian yang wajib di potong tangan (had)
sebanyak seperempat dinar, berdalilkan kepada Hadits Rasulullah Saw berikut
ini:
عن
عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال: لا تقطع يد السارق الا
ربع دينار فصاعدا (رواه المسلم)
Artinya : Dari Aisyah r.a.,
dari Nabi SAW bersabda: jangan potong tangan orang yang mencuri kecuali barang
yang di curinya bernilai (sampai harganya) seperempat Dinar atau
lebih.(H.R.Muslim). (Imam Muslim, Shahih Muslim
(Beirut: Dar al Fikr, 1994), hal.208).
Mazhab Malik dan Hanbali
serta pengikut-pengikutnya mengemukakan tentang kadar nisab pencurian yang
dapat dipotong tangan yaitu tiga Dirham. Golongan ini berdalilkan kepada Hadits
Rasulullah SAW yaitu;
عن عبد الله بن عمر
قال : أن النبي صلي الله عليه وسلم قال: قتقطع يد سارق في مجن ثمنه ثلاثة دراهم
(رواه مسلم)
Artinya :
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata bahwa Nabi SAW telah memberikan hukuman
potong tangan terhadap orang yang mencuri (mijan) yang harganya bernilai tiga
Dirham.(H.R.Muslim). (Imam Muslim, Shahih Muslim…, hal.
209).
Adapun Imam Hanafi
berpendapat, bahwa nilai / kadar barang curian yang wajib di kenakan hukuman had
(potong tangan) adalah satu Dinar atau sepuluh Dirham atau senilai dengan salah
satu keduanya. Adapun dalil yang di pakai oleh Imam Hanafi adalah sebagai
berikut:
عن عبد الله بن عمر
رضي الله عنهما أن النبي صلي الله عليه وسلم قال: لا تقطع فيما دون عشرة
دراهم.(رواه أحمد)
Dari uraian Surat Al Maidah
ayat 38 dan Hadits-hadits di atas maka dapat di pahami bahwa hukuman potong
tangan (had) merupakan suatu keharusan yang wajib diterima oleh seorang
pencuri apabila perbuatan tindak pidananya telah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam agama Islam. Dalah fiqh Syafi’iyah Hukuman potong
tangan (had) terhadap pelaku tindak pidana pencurian dapat dilaksanakan
apabila kadar atau nilai barang yang dicuri tersebut telah mencapai harga ¼ Dinar.
Kalau nisab ini
di kurskan / dibandingkan dengan harga rupiah, maka jalan yang harus di tempuh
adalah dengan membandingkan jumlah ¼ Dinar kedalam ukuran Gram, jumlah 1 Dinar
adalah 4,8 Gram, untuk jumlah ¼ Dinar adalah ¼ x 4,8 Gram. Jadi jumlah ¼ Dinar
adalah 1,2 Gram. Apabila harga 1 Gram emas Rp.240.000.00 maka jumlah 1,2 Gram
adalah Rp.240.000.00 x 1,2 = Rp 288.000.00. Dari sini jelas bahwa nisab pencurian yang di hukum dengan
potong tangan kalau dirupiahkan adalah Rp.
288.000.00.
عن إبن مسعود أن رسول الله صلي الله
عليه وسلم قال: لا تقطع إلا في عشرة دراهم .(رواه الطبرني)
Unsur-Unsur Pencurian
Untuk menguraikan unsur-unsur pencurian dan analisis
perbedaan dan persamaannya, maka terdapat tiga hal yang harus di kaji. Pertama
pelaku pencurian (السارق), kedua barang yang di curi (المسروق) dan adanya perbuatan untuk mencuri (السرقة) . Ketiga hal ini merupakan unsur-unsur
pokok dalam tindak pidana pencurian. Dalam fiqh syafi’iyah syarat bagi pencuri
yang dikenakan hukuman had (potong tangan) adalah baliqh (dewasa),
berakal, melazimi bagi sebuah ketetapan hukum Islam (orang yang diberlakukan
hukum Islam apabila ia melakukan perbuatan yang dilarangan dalam hukum Islam
seperti orang yang beragama Islam dan kafir zimmi), atas kehendak
sendiri dan mengetahui bahwa perbuatannya diharamkan dalam agama.
Dalam K.U.H.P tidak ada pengecualian hukuman bagi tindak
pidana pencurian yang belum dewasa sebagaimana disebutkan dalam K.U.H.P pasal
45.Yurisprudensi MA no 42/Kr/1965 menyatakan bahwa penghukuman tertuduh yang
belum berumur 16 tahun dengan hukuman 7 tahun karena bersalah melakukan
pembunuhan, tidak bertentangan dengan pasal 45 KUHP, karena hukuman tersebut
masih di bawah maksimum bagi anak di bawah umur dan dalam pasal 45 KUHP. Dalam
pelaksanaannya ada tiga Alternatif yang dapat di pilih oleh hakim dalam menghukum anak yang bersalah.
Syarat-syarat
Terhadap Pelaku Pencurian yang dikenakan potong Tangan
1.
Berdasarkan
Fiqh Syafi’iyah
Para
fuqaha’ Asy-Syafi’iyah telah sepakat bahwa penetapan hukuman had
terhadap para pelaku tindak pidana pencurian yaitu apabila pencurian tersebut
telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
A.
Mukallaf
Mukallaf merupakan salah satu syareat untuk dapat diancam
hukuman had terhadap para pelaku tindak pidana mencuri, tanpa memandang
kepada jenis kelaminnya, (laki-laki atau perempuan), martabatnya (hamba sahaya
atau merdeka), dan juga agamanya (muslim ataupun dzimmi).Orang gila atau
anak-anak jika melakukan pencurian mereka tidak dapat diancam dengan hukuman had,
karena keduannya bukan mukallaf, hal ini sesuai dengan pendapat Ibn Rusyd,
yaitu; pelaku pencurian yang dapat diancam dengan hukuman had (potong
tangan) adalah orang yang mencuri itu mukallaf (dewasa dan berakal). Maka anak
kecil dan orang gila yang mencuri tidak dapat diancam dengan hukuman had,
karena keduanya bukan mukallaf. Hal tersebut tidak terkecuali, baik dia orang
merdeka / hamba sahaya, laki-laki / perempuan, muslim atau dzimmi. ( Ibn
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa’, t.t.),
hal.649).
Dari pendapat ini, dapat dipahami bahwa para pelaku
pencurian yang dapat diancam dengan hukuman had yaitu harus orang
mukallaf. Hal ini merupakan salah satu syarat penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tindak pidana pencurian. Apabila ia belum dewasa dan atau ia tidak
berakal, tidak dapat diancam dengan hukuman had, karena ia tidak
termasuk kedalam kategori mukallaf (dewasa dan berakal).
B.
Kehendak
Sendiri
Seperti tindak pidana lainnya, terdapat unsure kesengajaan
untuk memiliki barang tersebut atau ada i’tikad (niat) jahat pelakunya. Hal ini
terbukti bila si pelaku mengetahui bahwa hukum mencuri itu haram, tetapi tetap
saja ia melakukan perbuatan mencuri. Seandainya barang atau harta tersebut
terbawa tanpa di sengaja, walaupun dalam jumlah yang besar atau mencapai nisab,
maka tidak dianggap sebagai jarimah pencurian, melainkan karena
kelalaian dan hukumannya pun hanya sekedar peringatan untuk berhati-hati. Dengan
demikian, pelaku tindak pidana pencurian dapat diancam dengan hukuman had
apabila tindakan pencurian itu dilakukan atas kehendaknya sendiri bukan karena
adanya unsur paksaan dari pihak yang lain.
Bila ia dipaksa untuk mencuri maka ia tidak dapat di kategorikan sebagai
pencuri yang harus diancam dengan hukuman had, karena paksaan itu
menghilangkan kehendaknya sendiri sehingga ia tidak digolongkan kepada orang
yang di takhlif kan
dalam agama.
- Menurut Hukum Positif
Relevansi Hukuman Potong Tangan
Dalam Hukum Positif
Membahas relevansi hukuman potong tangan diterapkan dalam
hukum positif terlebih dahulu harus diketahui adalah ada tiga sistem hukum yang
berlaku di Indonesia yaitu: sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem
hukum Barat. Sistem hukum Adat merupakan sistem hukum yang tertua di Indonesia, karena ia lahir sejak adanya manusia
di Indonesia.
Sedangkan hukum Islam lahir ketika adanya para pedagang dari timur tengah yang
singgah di Indonesia dengan membawa misi dakwah / agama. Untuk mengembangkan
hukum nasional maka diperlukan sebuah ketentuan hukum baru yang tidak boleh
keluar dari salah satu dari tiga sumber hukum nasional, yaitu Hukum Adat, Hukum
Islam dan Hukum Barat. Didalam hukum nasional Indonesia ketiga sumber hukum
tersebut mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang berbeda-beda.
Sebagai salah satu sumber pengembangan hukum nasional, hukum Islam memiliki
peluang konstitusional yang jelas.
(Abdul Hakim Barkatullah, Dkk, Hukum
Islam; Menjawab…., hal. X).
Menurut Prof.Dr.Muladi,SH, secara teoritis undang-undang
syari’ah Islam tidak dibenarkan di Indonesia. Sebab berdasarkan sila
pertama pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” negara Indonesia tidak dibangun sebagai
negara agama, akan tetapi sebagai negara yang beragama. Beliau menambahkan
bahwa dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia , tidak boleh mencampur
adukkan kepentingan politik dengan kepentingan agama. Sebab fungsi agama
menjaga tata tertib kehidupan beragama. Penganut suatu agama harus memberikan
teloransi terhadap penganut agama lain dalam menjalankan kepercayaannya. ( Muladi,
“Undang-Undang Syari’ah Tidak Dibenarkan
di Indonesia”, Serambi Indonesia,
No.6.491, Tahun ke-40, 31 Juli 2007, hal. 14). Pendapat Muladi ini berdasarkan
atas beberapa asumsi, pertama; bahwa syariat Islam hanya mengatur
tentang kehidupan manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (beribadat).
Seperti yang telah disebutkan bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
tetapi juga mengatur hubungan antara sesama manusia dan manusia dengan negara
(pemerintah) yang diatur dalam fiqh
siyasah.
Asumsi yang kedua adalah; dalam berhubungan dengan
Tuhannya (Ibadat mahdhah) Islam tidak
membenarkan mencampur adukkan ibadah ritual formalnya dengan agama lain. semua itu
terserah kepada masing-masing pemeluk agama untuk memilih mana ajaran yang
dianggap cocok dan di yakininya. Pemerintah juga tidak bisa memaksa untuk
memeluk agama tertentu karena bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi dalam
hubungan antara sesama manusia dan dengan pemerintah Islam tidak menutup pintu
terhadap adanya pemeluk agama lain yang ingin memutuskan hukum berdasarkan hukum
Islam, sebagaimana telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Prof.Dr. Hazairin (ahli hukum) mengatakan bahwa dalam pasal
UUD 1945 terkandung prinsip antara lain tidak boleh dibuat peraturan yang
bertentangan dengan kaidah agama, dan negara berkewajiban menjalankan syari’at
agama-agama. (Hazairin, Demkrasi
Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1985),
hal. 33-34).Pendapat ini sesuai dengan isi TAP MPR RI No IV/ MPR/ 1999
tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan penetapan hukum nasional yaitu “ Menata
sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati
hukum agama dan hukum adat...”. Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa “ Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Dari
penjelasan ini dapat diketahui bahwa UUD 1945 mengakui dan menghormati
pluralisme hukum dalam masyarakat. Untuk meng-implementasikan hal ini,
pemerintah perlu untuk membuat sebuah kebijakan politik, seperti kebijakan
otonomi. Dengan adanya pluralisme hukum, maka berkembanglah hukum nasional
Indonesia seperti penyelesaian hukum melalui Mahkamah Syari’ah di Provinsi NAD. Perkembangan hukum melalui jalan
perundang- undangan (melalui badan-badan legislatif) sangat lamban, namun hukum
dapat pula secara sah lahir diluar prosedur perundang-undangan, yaitu melalui
yurisprudensi dan conversi ( melalui keputusan-keputusan hakim dan melalui
hukum publik yang tidak tertulis). Sebelum menjadi hukum positif, syari’at
Islam membutuhkan formulasi dalam bentuk kode hukum Islam yang siap pakai
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk maksud tersebut sebagai salah satu hukum Islam Hukuman potong tangan harus
diformulasikan terlebih dahulu dalam kode hukum Islam yang siap pakai, sehingga
relevan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Kesimpulan
Pencurian merupakan salah satu jenis perbuatan
pidana atau jarimah yang saasarannya adalah perampasan harta benda milik orang lain dengan cara
melawan hukum. Dalam fiqh Syafi’iyah pelaku pencurian dikenakan hukuman had potong
tangan apabila tindakan yang dilakukan telah memenuhi beberapa syarat, yaitu
pelakunya orang yang mukallaf, dilakukan dengan kehendak sendiri, tidak
ada Syubhat pada harta yang di curi, dan sampai nisab. Adapun kadar
nisab barang curian menurut Syafi’iyah adalah ¼ Dinar. Menurut Imam Syafi’i
ketentuan kadar 3 Dirham yang terdapat
dalam Hadits riwayat Muslim sebenarnya sebanding dengan jumlah ¼ Dinar yang ada
dalam riwayat Bukhari, karena satu Dinar pada masa Nabi yaitu ketika Nabi
memotong tangan pencuri sebanding dengan 12 (dua belas) Dirham. Jadi junlah
dari ¼ Dinar adalah : 12 x ¼ = 3 Dirham. Jumlah ¼ Dinar adalah 4,8 Gram emas.
Jadi, ¼ Dinar adalah sebanding dengan 1,2 Gram emas. Dalam KUHP pelaku tindak
pidana pencurian tidak di hukum dengan hukuman potong tangan, tetapi apabila
delik tindak pidana pencurian telah
terpenuhi maka di hukum dengan hukuman kurungan badan (penjara). Sebagaimana yang
dimaksudkan dalam KUHP pasal 362. Adapun delik pencurian yaitu; sengaja,
melawan hukum, berupa suatu barang, barang yang dicuri seluruhnya atau
sebahagiannya adalah milik orang lain. Dalam hukum positif tidak dikenal dengan
harta syubhat.
Pemberlakuan hukuman potong tangan
bagi pencuri dalam hukum positif dimungkinkan dan sangat relevan sebagaimana
penetapan hukuman mati bagi para teroris dan kasus psitropika berat, dan
seperti pemberlakuan hukuman cambuk bagi pelaku khalwat, mesum dan khamar.
Pemberlakuan hukum Islam dalam hukum positif merupakan upaya eksitensi yaitu mengeksiskan kembali hukum Islam di Indonesia
sebagaimana telah ada sebelum kemerdekaan. Namun ada beberapa ketentuan yang harus di perhatikan, Pertama; pemberlakuan
hukum terhadap seluruh penduduk Indonesia
tanpa memandang kepada jenis kelamin, martabat dan agama. Inilah perwujudan
dari tujuan hukum pidana untuk mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga hak
dan kepentingannya terjamin, dengan membentuk sebuah kode hukum yang siap pakai
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua; pemberlakuan hukum terhadap kaum
muslim saja yaitu dengan menyusun sebuah UU / Qanun yang mencakup kepada
kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana,
sehingga kekuasaan Peradilan Agama dalam bidang tindak pidana semakin jelas dan
kuat. Dengan demikian setiap keputusan
dari Peradilan Agama, tidak perlu terlebih dahulu mendapat pengabsahan dari
Pengadilan Negeri seperti pasal 63 ayat 2 UU No 1 Tahun 1974.